TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Uang adalah salah satu kisah paling dipercaya di dunia. Dengan tiga lembar uang kertas atau bahkan hanya angka di layar ponsel, seseorang di belahan dunia mana pun akan menyerahkan secangkir kopi kepada Anda.
Kepercayaan ini terbangun karena otoritas negara menjamin nilainya. Dahulu, uang fiat dijamin dengan emas, sehingga pemerintah benar-benar berutang sebesar nilai uang yang beredar.
Sejak tahun 1971, sistem ini ditinggalkan, dan uang tidak lagi memiliki jaminan emas, melainkan hanya bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Memegang uang berarti percaya bahwa pemerintah akan menjaga stabilitasnya. Namun, apa yang terjadi jika kepercayaan itu luntur?
Di sinilah cryptocurrency hadir sebagai tantangan terhadap sistem keuangan global. Ketika inflasi, ketidakstabilan politik, atau kebijakan moneter yang kontroversial mengguncang nilai uang konvensional, orang mulai mencari alternatif. Mata uang digital berbasis blockchain menawarkan sistem yang tidak bergantung pada satu otoritas, melainkan pada konsensus komunitas.
Sebagai catatan, kapitalisasi pasar total cryptocurrency per 30 Maret 2025 mencapai $2,94 triliun, dengan Bitcoin menyumbang $1,72 triliun atau sekitar 58,41% dari total pasar. Awalnya dianggap sebagai aset langka yang bisa menyimpan nilai.
Bitcoin kini mulai diadopsi sebagai alat pembayaran di beberapa platform, seperti e-commerce tertentu dan layanan keuangan digital, meski penggunaannya masih terbatas karena volatilitas harga yang tinggi dan tantangan regulasi.
Namun, perlu dicatat bahwa cryptocurrency, seperti halnya uang fiat, tidak memiliki underlying asset. Perbedaannya, uang fiat didukung oleh pemerintah dan memiliki regulasi yang jelas, sementara cryptocurrency sepenuhnya bergantung pada kepercayaan pasar dan mekanisme penawaran-permintaan.
Namun, pertanyaan besar muncul: siapa yang mengatur ekosistem yang sangat dinamis dan sulit diatur ini? Regulasi menjadi medan tarik-ulur antara komunitas pengembang, pasar, dan otoritas negara.
Di satu sisi, pengembang menciptakan protokol yang memungkinkan transaksi terdesentralisasi. Komunitas pengguna dan penambang berkontribusi dalam menyesuaikan mekanisme sistem.
Sementara itu, negara-negara seperti Amerika Serikat, melalui SEC (Securities and Exchange Commission), mencoba mengendalikan cryptocurrency dengan mengatur titik masuk dan keluarnya aset digital ke sistem keuangan tradisional, terutama dalam proses konversi antara crypto dan mata uang fiat.
Jika dibandingkan dengan uang konvensional, total nilai pasar cryptocurrency masih kecil. Angka $2,94 triliun hanya sekitar 7,9% dari total uang tunai yang beredar ($37 triliun) dan 2,94% dari M2 ($100 triliun, yang mencakup uang tunai, tabungan, dan deposito berjangka jangka pendek).
Ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan crypto pesat, ia masih jauh dari menjadi sistem keuangan utama dunia. Tantangan utama bagi cryptocurrency adalah keseimbangan antara inovasi dan stabilitas.
Di sisi lain, teknologi blockchain menawarkan transparansi dan desentralisasi yang menarik bagi masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan tradisional. Namun, di sisi lain, volatilitas harga, ancaman regulasi ketat, serta risiko kejahatan siber masih menjadi hambatan adopsi massal.
Ke depan, pertanyaan fundamental yang harus dijawab adalah: siapa yang akan menulis babak baru dari kisah uang? Apakah otoritas pemerintah tetap menjadi pengendali utama? Apakah komunitas crypto akan mengambil alih dengan sistem keuangan tanpa perantara? Ataukah pasar akan menemukan keseimbangan baru antara keduanya?
Satu hal yang pasti, narasi tentang uang terus berevolusi. Seiring waktu, kepercayaan manusia terhadap bentuk uang akan terus diuji, dan cryptocurrency mungkin menjadi bagian dari bab selanjutnya dalam sejarah keuangan dunia. Dalam kondisi di mana ketidakpastian ekonomi terus meningkat, masyarakat semakin tertarik dengan konsep keuangan yang lebih terbuka dan transparan.
Namun, apakah cryptocurrency dapat benar-benar menggantikan sistem keuangan yang sudah mapan? Beberapa negara mulai mengadopsi Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai respons terhadap tren ini.
CBDC menawarkan digitalisasi uang dengan tetap mempertahankan kendali pemerintah atas moneter. Ini bisa menjadi jalan tengah antara desentralisasi penuh dan regulasi ketat.
Pada akhirnya, evolusi uang tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal kepercayaan. Apakah masyarakat lebih percaya pada pemerintah dan bank sentral, atau justru pada jaringan blockchain yang berjalan tanpa perantara? Jawabannya akan menentukan arah masa depan sistem keuangan global.
Bagi para pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan, tantangannya adalah menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan konsumen. Terlalu banyak regulasi bisa membunuh inovasi, sementara kurangnya regulasi bisa menciptakan risiko besar. Inilah dilema besar yang harus dipecahkan dalam dekade mendatang.
Perdebatan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Namun, satu hal yang pasti: masa depan keuangan dunia sedang ditulis ulang, dan kita semua adalah bagian dari cerita besar ini. (*)
***
*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.