Berani Benar, Pemuda 24 Tahun Ini Hantam Belanda yang Mau Rayakan 100 Tahun Kemerdekaannya dari Perancis
Moh. Habib Asyhad May 02, 2025 12:34 PM

Usia Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara masih terbilang sangat muda ketika mengritik Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekannya dari Perancis di Indonesia. Dia pun diasingkan.

Artikel ini diduplikasi dari artikel berjudul Ki Hajar Dewantara: satu untuk semua, semua untuk satu yang tayang di Majalah BOBO pada 1985 dengan beberapa tambahan.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tahun 1913, Belanda yang menjajah kita akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya dari jajahan Prancis. Rakyat jajahan dipaksa membayar iuran untuk membiayai perayaan itu.

Seorang putra Indonesia tampil dan memprotes hal ini melalui karangan, "Als ik een Nederlander was", "Andaikata Aku Seorang Belanda."

"Andaikata saya seorang Belanda, tidaklah saya akan merayakan pesta kemerdekaan bangsa saya di negeri yang rakyatnya tidak kita beri kemerdekaan. Tidak dengan sengaja kita seolah-olah berteriak, 'Lihatlah, hai orang-orang, bagaimana caranya kita memperingati kemerdekaan kita. Cintailah kemerdekaan, karena sungguh berbahagialah rakyat yang merdeka lepas dari penjajah.'"

Begitu antara lain isi karangan itu. Akibatnya, dia ditangkap dan dikenakan hukuman buangan. Pemuda itu adalah Soewardi Soerjaningrat yang kelak kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Berkelahi dengan Anak Belanda

Ki Hajar Dewantara lahir sebagai Raden Mas Soewardi, putra keempat dari Pangeran Suryaningrat. Ayahnya, adalah putra sulung Paku Alam III yang menguasai sebagian daerah Yogyakarta.

Menurut adat yang berlaku waktu itu, Suwardi kecil berhak mendapat penghormatan dari rakyat biasa. Tetapi Suwardi menolak disanjung dan dipuja. Suwardi suka bermain dengan rakyat biasa yang seharusnyamenghormatinya. Malam hari, dia tidur bersama mereka di masjid. Suatu hal yang ganjil pada waktu itu.

Teman-temannya juga masih ingat, "Ndoro Suwardi" sering berkelahi dengan kanak-kanak Belanda. Biasanya, dia tampil bersama kakaknya, Suryopranoto, yang kelak juga terkenal sebagai pemimpin pergerakan nasional.

Dikurung di Kamar

Suwardi pernah lima tahun sekolah di sekolah dokter Stovia di Batavia (Jakarta). Di sekolah ini, dia melihat perlakuan yang berbeda terhadap pelajar Jawa dan Sumatera dan pelajar bangsa Eropa. Bangsa Indonesia dilarang berpakaian Eropa. Suatu tanda bangsa kita dianggap lebih rendah dari bangsa Eropa.

Ada lagi aturan yang aneh. Pelajar Stovia dilarang merayakan hari Idulfitri. Suwardi dan kawan-kawannya menentang aturan ini. Di hari Idulfitri, mereka meledakkan beberapa puluh petasan di berbagai kamar dan sudut asrama pelajar Stovia. Mereka dianggap membuat kekacauan dan sebagai hukuman, mereka dikurung dalam kamar.

Tiga Serangkai

Soewardi tidak menyelesaikan pelajarannya di Stovia karena sakit. Ketika Indische Partij terbentuk, dia menjadi salah satu dari tiga serangkai pemimpin partai ini bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo.

Partai ini adalah partai pertama yang anggotanya terdiri dari berbagai asal keturunan dan golongan. Juga merupakan partai pertama yang menuntut Indonesia merdeka. Karenanya, Indische Partij diawasi ketat. Namun Belanda mengalami kesulitan untuk membubarkannya.

Dibuang ke Negeri Belanda

Belanda akhirnya berhasil membubarkan partai ini. Tulisan “Andaikata Aku Seorang Belanda” menjadi sebab pertama. Apalagi kemudian menyusul tulisan lain yang dianggap membahayakan penjajah Belanda.

Susul menyusul tiga serangkai menulis karangan di surat kabar. Dr Cipto Mangunkusumo menulis, "Kekuatan atau Ketakutan." Suwardi kemudian menambahkan dengan tulisan, "Satu untuk Semua tetapi juga Semua untuk Satu." Akibatnya, keduanya ditangkap Belanda.

Douwes Dekker yang baru pulang dari Negeri Belanda tidak berdiam diri. Dia membela sahabatnya dengan karangan, "Pahlawan Kita Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat."

Dengan ini, ketiganya ditangkap Belanda. Mereka bertiga dikenakan hukuman buangan, dan bubarlah Indische Partij. Atas permintaan mereka, ketiganya dibuang ke negeri Belanda.

Ki Hajar Menang

Masa pengasingan digunakan Suwardi untuk belajar. Dia lulus sekolah guru dengan nilai sangat baik. Kembali ke tanah air, sesudah berkali-kali masuk penjara, dia mengubah taktik perjuangannya. Dia ingin mencapai kemerdekaan lewat pendidikan rakyat.

Pada 3 Juli 1922, dia mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Lalu dia berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa yang dijalankan tanpa santunan pemerintah serkembang pesat. Dalam waktu singkat berdiri lebih dari 100 cabangnya di seluruh Indonesia.

Belanda cemas dan berusaha menutup sekolah ini -- lewat Ordonansi Sekolah Liar. Ki Hajar memprotes keras. Dia memperingatkan, tindakan Belanda akan menimbulkan perlawanan yang kuat dari rakyat. Dan hasilnya… untuk pertama kali, Belanda tunduk pada desakan rakyat terjajah.

Menteri Pendidikan Pertama

Sesudah proklamasi, Ki Hajar Dewantara yang ikhlas, tekun, cerdas, pintar dan penuh tanggung jawab diangkat menjadi Menteri Pendidikan yang pertama. Dia, yang selama hidupnya tak pernah berhenti berjuang untuk Ibu Pertiwi, akhirnya meninggal pada 26 April 1959 dalam usia 70 tahun.

Untuk mengenang jasa dan perjuangannya di bidang pendidikan, hari lahirnya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dia juga dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.