TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fluktuasi tajam perekonomian dunia berimbas nyata pada perekonomian Indonesia yang tercermin dari melemahnya Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur.
PMI Indonesia sektor manufaktur seperti dirilis S&P Global bulan April anjlok 5,7 poin ke angka 46,7 poin. Sebelumnya, pada Maret 2025 PMI Indonesia menyentuh 52,4 poin. Penurunan ini menjadi yang paling signifikan sejak bulan Agustus 2021.
"Sektor manufaktur Indonesia memasuki triwulan kedua 2025 dengan catatan kurang baik. Kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Terlebih lagi, headline PMI menunjukkan tanda-tanda penurunan tajam pada kesehatan sektor sejak Agustus 2021," kata Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti, dalam keterangan Jumat (2/5/2025).
Penurunan PMI disebabkan oleh penurunan output atau produksi dan permintaan baru. Turunnya produksi menjadi yang tercepat sejak bulan Agustus 2021.
Selanjutnya, penurunan tajam pada pekerjaan baru untuk pertama kalinya terjadi dalam lima bulan. Sementara permintaan dilaporkan melemah, baik dari pasar domestik maupun luar negeri.
Menanggapi hal ini, perusahaan-perusahaan memasuki mode pengurangan tenaga kerja dengan mengurangi aktivitas pembelian dan perekrutan pada awal triwulan kedua.
Produsen mengurangi jumlah tenaga kerja pada bulan April karena kebutuhan produksi dan permintaan menurun. Meski kecil, penurunan jumlah pekerja ini merupakan yang pertama dalam lima bulan.
Tekanan ini sekaligus mendorong perusahaan untuk mengalihkan karyawan guna menyelesaikan pekerjaan yang ada.
Tanda-tanda PHK juga terlihat dari penurunan pada aktivitas pembelian, pertama dalam enam bulan.
Secara bersamaan, produsen mengurangi inventaris pra dan pasca produksi karena penurunan permintaan baru dan output mengharuskan perusahaan mengurangi stok.
"Perusahaan menerapkan PHK dengan mengurangi pembelian dan tenaga kerja serta mengurangi jumlah stok input dan barang jadi."
"Perkiraan jangka pendek masih suram, karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan akibat tidak ada penjualan, tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang," ucap Usamah.
Kabar baiknya, tekanan terhadap pemasok berkurang karena tekanan kapasitas produksi menurun. Waktu pengiriman rata-rata meningkat untuk pertama kali sejak November lalu, meski hanya kecil.
Dari segi harga, inflasi biaya produksi pada bulan April cukup tajam namun masih di bawah rata-rata jangka panjang. Menurut bukti anekdotal, kenaikan nilai dolar AS menyebabkan harga bahan baku impor juga naik.
Laju inflasi biaya produksi merupakan yang paling rendah sejak bulan Oktober 2020. Perusahaan menanggapi dengan menaikkan biaya selama tujuh bulan berturut-turut dan menjadi laju tercepat pada tahun 2025.
Melihat ke depan, bisnis di sektor manufaktur Indonesia masih optimis bahwa volume produksi akan naik pada tahun mendatang.
Meski kuat, tingkat optimisme turun ke level terendah dalam tiga bulan dan di bawah rata-rata jangka panjang.
Kepercayaan diri didorong oleh harapan bahwa perekonomian akan membaik dan keadaan di sektor akan pulih, serta harga bahan baku akan turun.
"Perkiraan tahun mendatang terlihat positif, perusahaan berharap produksi naik karena kondisi ekonomi akan membaik dan daya beli klien dan pelanggan akan menguat. Namun demikian, ketidakpastian waktu pemulihan menurunkan harapan beberapa perusahaan," ungkapnya.