TRIBUNNEWS.COM - Sumber-sumber diplomatik Iran membantah laporan media Amerika yang mengklaim adanya rincian potensi perjanjian nuklir antara Iran dan Amerika Serikat.
Laporan tersebut sebelumnya dikutip oleh Al Mayadeen.
Sumber Iran menegaskan tidak ada perubahan dalam posisi hukum internasional dan hak-hak sah Iran terkait pemeriksaan fasilitas nuklir mereka.
Koresponden Al Mayadeen di Teheran melaporkan, menurut sumber diplomatik, setiap pengawasan fasilitas nuklir Iran akan dilakukan dalam kerangka hukum internasional yang berlaku dan sesuai dengan hak-hak Iran.
Sementara itu, pada Jumat (2/5/2025), Reuters melaporkan Teheran dan Washington tengah merundingkan pembaruan terhadap Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang ditarik oleh Presiden AS Donald Trump pada tahun 2018.
Kesepakatan yang diusulkan, yang disebut "JCPOA 2", diperkirakan akan memperpanjang durasi kesepakatan hingga 25 tahun dan memperkenalkan mekanisme verifikasi yang lebih ketat.
Menurut Reuters, ketentuan dalam perjanjian baru ini mencakup pembatasan pada pengayaan uranium serta pengawasan lebih lanjut dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) terhadap fasilitas nuklir Iran.
Sumber-sumber Iran juga mengonfirmasi pembicaraan tersebut mencakup pembatasan cadangan uranium yang diperkaya, ekspor uranium, dan pengoperasian sentrifus.
Namun, Iran tetap mempertahankan posisi bahwa tidak akan ada pengurangan infrastruktur nuklir mereka, meskipun mereka menyetujui pembatasan pengayaan untuk mencegah "terobosan cepat" ke arah pengembangan senjata nuklir.
Iran juga telah menyatakan keterbukaannya terhadap verifikasi lebih lanjut oleh IAEA, tetapi dalam batas yang tidak mengganggu hak-hak negara tersebut untuk mempertahankan program nuklir yang bersifat damai.
Isu terkait kemampuan rudal balistik Iran juga menjadi kendala utama dalam pembicaraan.
AS dan Israel menuntut adanya pembatasan kemampuan rudal Iran.
Sementara Iran berpendapat bahwa program rudalnya merupakan bagian dari hak kedaulatan mereka yang terkait dengan pertahanan nasional.
Selain itu, Iran menanggapi klaim Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, yang menyatakan bahwa Iran berada di ambang pengembangan senjata nuklir.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baqaei, menyebut pernyataan tersebut sebagai "tidak masuk akal" .
Ia memperingatkan bahwa ancaman untuk menerapkan kembali sanksi justru merusak peran Prancis di Eropa dan secara global.
Sumber diplomatik juga mengungkapkan sanksi AS terhadap mitra dagang Iran tidak akan mempengaruhi kebijakan negara tersebut, yang tetap berpegang pada prinsip hukum internasional.
Perundingan antara AS dan Iran yang semula dijadwalkan pada akhir pekan ini, terpaksa ditunda karena perbedaan posisi antara kedua negara.
Iran mengklaim penundaan ini disebabkan oleh upaya AS untuk mengubah kerangka pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya.
Sementara itu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan meskipun perundingan ditunda, pertemuan selanjutnya diperkirakan akan segera digelar.
Pemerintah AS sebelumnya mengancam untuk meningkatkan sanksi terhadap Iran, terutama terkait dengan perdagangan minyak.
Presiden AS Donald Trump bahkan menyerukan penghentian segera pembelian minyak Iran melalui platform sosialnya, memperingatkan adanya sanksi sekunder bagi negara atau individu yang terlibat dalam perdagangan tersebut.
Pejabat Iran menegaskan bahwa sanksi tersebut tidak akan mempengaruhi posisi diplomatik mereka, yang tetap berkomitmen untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berbasis pada hukum internasional.
Krisis nuklir Iran terus menjadi masalah utama dalam hubungan internasional, dengan AS dan sekutunya yang terus mengawasi perkembangan program nuklir Iran.
Teheran, di sisi lain, tetap berkeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan sipil dan damai, meskipun tuduhan terhadapnya terus berkembang.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)