KDM dan Kepemimpinan Profetik
GH News May 03, 2025 01:04 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ini refleksi penulis yang kedua tentang Kang Dedy Mulyadi (KDM) tentang pemikiran dan aksi-aksinya sebagai kepala daerah. Menulis tentang KDM bukan semata karena popularitas dan “viralitas”nya di media sosial. Jauh dari itu, ia merupakan trend kesejarahan kepemimpinan daerah yang menunjukkan kolaborasi antara nilai-nilai kebudayaan Indonesia, dalam hal ini Sunda.

Kepemimpinan modern dalam ukuran dan skala demokrasi, dan kontekstulaisasinya dalam “zaman konten” yang serba digital dimana persepsi dan citra politik sangat dipengaruhi oleh media sosial sebagai alat baru yang serba cepat dan terbuka. Kerananya, memotret KDM adalah memotret model kepemimpinan yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal, kepemimpinan modern di era digital.

Anomali Prinsip “Berani karena benar”

Tidak banyak orang yang berani meskipun benar. Sebaliknya banyak orang yang takut padahal benar. Ada juga orang berani meskipun salah. Kerana kesalahan seringkali dapat ditukar dengan sejumlah uang dan kekuasaan untuk dinyatakan benar. 

Dalam kehidupan sosial politik kita belakangan ini, fenomena menutupi kesalahan dengan merekayasa hukum sudah menjadi tontonan umum yang kian menggejala. Sehingga tanpa sadar, dampak kerusakannya bersifat masif.

Bayangkan, perilaku koruptif ratusan triluan oleh segelintir orang dapat berdampak pada kemiskinan dan kebodohan banyak orang dan merusak mental generasi. 

Untuk menyatakan kebenaran di ruang publik, apalagi di era post-truth dimana kesalahan dan kebohongan yang sering diualng dapat dianggap benar, akan punya banyak resiko. Diantara resiko itu adalah terjadinya pemutarbalikan fakta secara masif dan cepat dengan aneka konten dan pasukan buzer berbayar. 

Di dalam layar-layar smartphone dan beranda platform media sosial  lalu lintas konten saling bertabarakan anatar “yang benar” dan “yang salah”. Menit ini dipuji dan pada menit yang sama dicaci. Seleksi terhadap konten yang kredibel dan abal-abal tidak lagi jelas. Karena itu, membaca aneka konten yang mengandung narasi tertentu memerlukan “alat baca” yang tepat dan kredibel.

Analisis Wacana Kritis

Dalam era digital, media sosial menjadi ruang utama untuk menyampaikan opini, menyebarkan informasi, dan membentuk wacana publik. Namun, tidak semua yang beredar di media sosial dapat dipercaya begitu saja. 

Di sinilah Analisis Wacana Kritis (AWK) berperan. AWK adalah metode analisis yang digunakan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membangun, mempertahankan, atau menantang kekuasaan dalam komunikasi. 

Dalam konteks media sosial, AWK membantu melihat lebih dalam bagaimana narasi tertentu dikonstruksi, siapa yang mendominasi percakapan, dan apa dampak dari wacana tersebut terhadap masyarakat. 

Langkah pertama dalam menerapkan Analisis Wacana Kritis adalah mengidentifikasi aktor yang terlibat dalam wacana. Dalam kasus KDM, dalam dirinya sendiri sudah menjadi aktor utama. Wacana kemudian diikuti oleh para penggemarnya dengan menguatkan konten wacana yang dinarasikan KDM. 

Langkah kedua adalah mengamati bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk opini. Misalnya, ketika KDM menyerukan kebijakan pembongkaran bangunan di aliran sungai di seluruh wilayah Jawa Barat. KDM bertumpu pada wacana “keberlanjutan lingkungan” bukan pada “pembongkaran bangunan”. 

Bahasa “keberlanjutan lingkungan” dapat mengalahkan bahasa “keseman-menaan”, “otoriter” dan narasi lain yang bersifat negatif. Melalui AWK, dapat dipahami bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga strategi untuk membangun opini publik.

Langkah ketiga adalah melihat bagaimana wacana tersebut berkembang dan berubah. Di media sosial, wacana bisa berubah dengan cepat tergantung pada isu yang sedang berkembang. Jika ada peristiwa besar yang terkait—misalnya aksi demonstrasi—narasi yang mendominasi bisa bergeser dari sekadar kritik kebijakan menjadi tuntutan perubahan yang lebih besar. 

Dalam kasus KDM, aksi protes atas beberapa kebijakan Gubernur baru muncul dari ormas bernama GRIB pimpinan Hrecules. Itupun mendapat serangan balik dari beberapa aktor penting dan orams yang mendukung kebijakan KDM.

Langkah keempat adalah menganalisis siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari wacana yang berkembang. Dalam setiap perdebatan di media sosial, selalu ada pihak yang lebih dominan. Jika kita tidak kritis, kita bisa dengan mudah terjebak dalam narasi yang sudah dikondisikan oleh kelompok tertentu. 

Langkah terakhir adalah menghubungkan wacana dengan realitas sosial. Wacana di media sosial tidak terjadi dalam ruang hampa; ia memiliki dampak nyata di dunia offline. Contoh nyata adalah bagaimana aksi pembongkaran bangunan wisata di puncak Bogor sejauh ini belum mendapat perlawanan dari pihak yang dianggap korban.

Kepemimpinan Profetik

Dalam ungkapan yang mudah, kepemimpinan adalah “an influence relationship among leaders and followers who intend real changes and outcomes that reflect their shared purposes”. Artinya kepemimpinan merupakan usaha untuk mempengaruhi hubungan antara pemimpin dan para pengikut yang menginginkan perubahan dan hasil nyata yang mencerminkan tujuan bersama mereka. 

Sedangkan makna “profetik” dalam ilmu sosial pertana kali dikenalkan oleh ilmuan sosial Kuntowijoyo melalui gagasannya mengenai pentingnya ilmu sosial transformatif yang disebut ilmu sosial profetik. Ilmu sosil profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. 

Ilmu sosial profetik mengusulkan perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu (dalam hal ini etik Islam), yang melakukan reorientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap made of tought dan made of inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari rasio dan empirik, tetapi juga dari wahyu. Maka berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa profetik itu merujuk pada suatu sifat kenabian.

Dalam kepemimpinan KDM, banyak narasi yang bersumber dari nilai-nilai keagamaan Islam dan kebudayaan Sunda menjadi sumber dan inspirasinya. Secara epsistemologis, KDM, disadari atau tidak, tengah menjalankan “kepemimpinan profetik” yang jika ditelusuri secara historis meneladani bagamana para nabi dalam memerankan kepemimpinannya. 

Sikap berani dalam “melawan” kedzaliman dan ketidakbenaran dapat tergambar pada sikap para nabi. Nabu Muhammad SAW menunjukkan keberanian pada dominasi elit Quraish yang sangat dominan pada pengelolaan ekonomi. 

Elitisme suku Quraish telah menyebabkan ketidakadilan ekonomi dan kesengseraan kaum mustadafin. Begitu juga dengan kepemimpinan nabi Musa yang berani menentang kedzaliman Fir’aun.

Salah satu karakter mendasar dari kepemimpinan profetik adalah sikap berani terhadap penegakan kebenaran dengan dukungan keyakinan atas nilai-nilai kewahyuan dan leluhur. 

Dalam pembelajaran kepemimpinan profetik, banyak resiko yang menghadang diantarnya adalah peralwanan baik fisik maupun non fisik. Tetapi jangan lupa, pembelajaran kepemimpinan profetik yang dipraktekan para nabi berujung sukses dengan ongkos yang tidak ringan.

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam di Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.