Penjelasan BPS soal Angka Kemiskinan RI Beda dengan Bank Dunia
kumparanBISNIS May 04, 2025 01:20 PM
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan penjelasan terkait perbedaan signifikan antara angka kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia dan versi resmi nasional.
Dalam laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis awal April 2025, Bank Dunia menyatakan bahwa sepanjang 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia—atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, data resmi BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 hanya sebesar 8,57 persen, setara 24,06 juta jiwa.
Unit Kerja Kepala Statistik Bidang Media dan Komunikasi (UKK Media) BPS, Eko Rahmadian, menegaskan bahwa perbedaan ini memang mencolok, namun bukan berarti keduanya saling bertentangan.
"Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda," kata Eko dalam keterangan tertulis, Jumat (2/5).
Menurut Eko, Bank Dunia memakai tiga pendekatan dalam menentukan garis kemiskinan global, yaitu USD 2,15 per kapita per hari untuk kemiskinan ekstrem; USD 3,65 untuk negara berpendapatan menengah bawah; dan USD 6,85 untuk negara berpendapatan menengah atas. Ketiga angka tersebut dinyatakan dalam USD PPP (Purchasing Power Parity), bukan kurs tukar langsung. Pada 2024, nilai USD 1 PPP setara dengan Rp 5.993,03.
Angka 60,3 persen yang dirilis Bank Dunia, jelas Eko, berasal dari standar USD 6,85 PPP yang merupakan median dari 37 negara berpendapatan menengah atas dan bukan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.
Bank Dunia sendiri, lanjut Eko, mendorong tiap negara menetapkan garis kemiskinan nasional masing-masing, menyesuaikan kondisi sosial dan ekonomi lokal. Walaupun Indonesia kini masuk kategori upper-middle income country dengan GNI per kapita USD 4.870 (2023), posisinya masih tergolong baru dalam kelompok tersebut dan hanya sedikit di atas batas bawah UMIC yang dimulai dari USD 4.516.
"Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi," sebut Eko.
Perbesar
Warga mengangkut drum di kawasan permukiman semipermanen Muara Angke, Jakarta, Senin (1/7/2024). Foto: Aprilio Akbar/ANTARA FOTO
BPS, lanjutnya, menggunakan metode kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) dalam menghitung kemiskinan. Angka ini tercermin dalam Garis Kemiskinan, yakni jumlah pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, baik makanan maupun non-makanan.
Untuk makanan, standar konsumsi minimalnya adalah 2.100 kilokalori per orang per hari yang dihitung dari komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayuran. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
"Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi," lanjut dia.
Penghitungan garis kemiskinan didasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang digelar dua kali setahun. Pada 2024, survei Maret mencakup 345.000 rumah tangga, dan survei September mencakup 76.310 rumah tangga di seluruh Indonesia.
"Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif," ungkap Eko.
Ia menambahkan, metode ini memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai kondisi riil masyarakat Indonesia. Data BPS juga dirinci per wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dan dibedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita ditetapkan sebesar Rp 595.242 per bulan. Namun karena konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, dan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota, maka garis kemiskinan rumah tangga nasional mencapai Rp 2.803.590 per bulan.
"Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda," ungkapnya.
Eko mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam membaca angka ini. Garis kemiskinan merupakan angka rata-rata yang tidak bisa langsung digunakan untuk menilai kebutuhan individu, karena tak memperhitungkan faktor usia, jenis kelamin, atau pekerjaan.
Sebagai ilustrasi, garis kemiskinan per kapita di Jakarta pada September 2024 tercatat Rp 846.085 per bulan. Dalam satu rumah tangga dengan lima anggota (misalnya ayah, ibu, dan tiga balita), tidak adil jika seluruh anggota dianggap memiliki kebutuhan yang sama. Yang lebih tepat adalah menggunakan pendekatan garis kemiskinan rumah tangga yakni Rp 4.230.425 per bulan.
"Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu/hari bukan orang miskin," terang Eko.
Ia juga menekankan bahwa berada di atas garis kemiskinan bukan berarti otomatis sejahtera. Di atas kelompok miskin, terdapat kategori rentan miskin (1,0–1,5 kali garis kemiskinan), kelompok transisi menuju kelas menengah (1,5–3,5 kali GK), kelas menengah (3,5–17 kali GK), dan kelas atas (di atas 17 kali GK).
Berdasarkan data September 2024, komposisi penduduk Indonesia terbagi sebagai berikut: kelompok miskin 8,57 persen (24,06 juta jiwa), rentan miskin 24,42 persen (68,51 juta jiwa), transisi menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).