Judi Online dan Tantangan Negara Hukum
Basuki Kurniawan May 05, 2025 03:40 PM
Lonjakan kasus judi online di Indonesia kini telah menyasar berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, hingga aparatur sipil negara (ASN). Fenomena ini bukan lagi sekadar persoalan moral, melainkan telah menjadi masalah struktural dan sistemik yang mendesak untuk diatasi bersama.
Hari ini, judi online telah menjelma menjadi kecanduan digital yang menyentuh anak-anak muda, bahkan sejak usia sekolah. Lebih dari sekadar permainan, ia telah menjerumuskan banyak orang ke dalam lingkaran kemiskinan berulang, menyebabkan tindak pidana, konflik rumah tangga, bahkan hingga kasus bunuh diri akibat tekanan ekonomi dan sosial. Yang menjadi pertanyaan serius: mengapa negara tampak begitu lemah dalam menghadapi praktik judi online yang semakin masif dan terbuka ini?
Secara yuridis, perjudian merupakan aktivitas ilegal di Indonesia. Larangan ini tertuang dalam Pasal 303 KUHP, yang menyatakan bahwa perjudian adalah tindak pidana. Dalam ranah digital, Pasal 27 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga secara tegas melarang distribusi dan akses terhadap konten yang memuat unsur perjudian. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa bahwa segala bentuk perjudian, termasuk judi online, haram hukumnya.
Namun dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap judi online menghadapi tantangan besar. Modus yang digunakan pelaku semakin canggih: server luar negeri, akun atas nama orang lain, hingga penggunaan algoritma untuk menghindari pelacakan. Kepolisian sendiri mengakui kesulitan dalam mengendalikan arus dan jaringan judi online yang tersebar luas di dunia maya.
Kelemahan utama terlihat pada minimnya penegakan hukum terhadap platform digital asing dan ekosistem keuangan yang mendukung transaksi judi online. Penindakan yang bersifat reaktif belum menyentuh aspek teknologi finansial (fintech), operator seluler, hingga institusi perbankan yang digunakan untuk aliran dana. Padahal, hukum pidana Indonesia yang bersifat ultimum remedium menekankan pentingnya efek jera. Tanpa menyasar aktor besar dan sistem pendukungnya, penegakan hukum hanya menyentuh permukaan.
Masalah lainnya adalah lemahnya koordinasi antar lembaga negara seperti Komdigi, PPATK, Polri, OJK, dan Bank Indonesia. Penanganan yang berjalan sendiri-sendiri menyebabkan tidak adanya sistem nasional yang kuat untuk memutus rantai judi online. Masyarakat pun belum sepenuhnya terlibat dalam pengawasan dan pelaporan, akibat rendahnya literasi digital dan minimnya ruang edukasi hukum.
Contoh konkret dapat dilihat dari sejumlah kasus yang terjadi baru-baru ini. Pada November 2024, Polres Lumajang berhasil mengungkap aktivitas perjudian online dan mengamankan 11 tersangka. Menariknya, para pelaku menjalankan praktik tersebut melalui aplikasi yang dapat diunduh langsung dari Play Store, yang secara tampilan awal tidak mencurigakan, namun menyembunyikan sistem perjudian digital di dalamnya.
Tak hanya itu, pada awal Mei 2025, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap data mengejutkan: mereka membekukan 5.000 rekening bank yang terafiliasi dengan transaksi judi online, dengan nilai total mencapai Rp600 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk rekening yang tersebar di luar jaringan perbankan nasional dan dalam sistem keuangan digital berbasis dompet elektronik.
Meskipun tidak ditemukan bukti spesifik mengenai penyamaran situs judi sebagai layanan edukasi daring sebagaimana sempat dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat, dua kasus besar ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa praktik judi online di Indonesia telah berkembang semakin kompleks, tersembunyi, dan melibatkan berbagai modus operandi. Mulai dari penyamaran aplikasi, penggunaan identitas palsu, hingga sistem pembayaran yang terfragmentasi.
Fakta-fakta ini menguatkan bahwa penanganan konvensional seperti blokir situs dan penangkapan individu tidak lagi cukup. Negara membutuhkan pendekatan yang lebih strategis, lintas sektor, dan berbasis teknologi. Lebih jauh, kolaborasi antara lembaga negara—seperti Kominfo, Polri, OJK, PPATK, dan BI—serta keterlibatan masyarakat sipil sangat krusial untuk membendung eskalasi kejahatan digital ini.
Di titik ini, kita perlu bertanya ulang: apakah hukum hanya sekadar larangan? Atau seharusnya hadir sebagai perlindungan? Dalam filosofi hukum Pancasila, negara tidak hanya bertugas menghukum, tetapi juga menjamin moral publik dan ketertiban umum. Undang-undang tentang perjudian, khususnya dalam bentuk digital, seharusnya menjadi instrumen untuk membentuk kesadaran hukum dan ketahanan sosial, bukan semata-mata alat penindakan.
Filsuf hukum John Rawls menekankan bahwa negara wajib berpihak pada kelompok paling rentan dalam masyarakat. Dalam konteks judi online, mereka adalah generasi muda yang terpapar iklan masif tanpa literasi digital yang memadai. Maka, hukum harus menjadi alat untuk melindungi, bukan sekadar menghukum.
Indonesia membutuhkan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Perjudian Digital yang komprehensif dan berbasis kolaborasi lintas sektor. Perlu dibangun sistem blacklist nasional terhadap situs, rekening, dan kanal promosi judi online. Fintech, operator telekomunikasi, dan perbankan harus diwajibkan terlibat aktif dalam pengawasan. Literasi digital dan pendidikan moral di sekolah serta komunitas juga harus diperkuat sebagai langkah preventif.
Belajar dari negara lain, seperti Korea Selatan dan Singapura, pengendalian judi digital dilakukan tidak hanya melalui penindakan hukum, tetapi juga melalui kebijakan edukatif, kontrol teknologi tinggi, serta regulasi ketat terhadap aktivitas keuangan digital. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa dengan menyesuaikannya pada konteks lokal, nilai-nilai Pancasila, dan realitas sosial masyarakat.
Judi online adalah gejala dari krisis moral dan lemahnya sistem sosial. Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada pembatasan akses atau penangkapan pengguna. Negara hukum yang sehat adalah negara yang mampu melindungi warganya, bukan sekadar menghukum mereka.
Dengan regulasi yang tepat, strategi nasional yang terintegrasi, dan kerja sama seluruh elemen masyarakat, kita tidak hanya bisa menekan angka pelanggaran, tetapi juga membangun kesadaran bersama akan pentingnya menjaga martabat hukum dan kehidupan sosial dari ancaman yang merusak seperti judi online.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.