Mahasiswa dan Buruh: Dua Kelas, Satu Penindas
Alif Sepulloh May 05, 2025 07:00 PM
Dua Wajah Perlawanan
Ketika kita mencoba mendeskripsikan buruh, satu kata yang paling mencerminkan eksistensi mereka adalah perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakadilan upah, ketimpangan relasi kerja, hingga kebijakan yang menindas. Buruh adalah simbol dari keteguhan dalam menghadapi sistem yang sering kali tidak berpihak. Hal yang sama juga berlaku bagi mahasiswa. Kata yang paling menggambarkan posisi mereka adalah perjuangan—perjuangan menuntut ilmu, memperjuangkan keadilan, dan menjaga idealisme di tengah tekanan ekonomi dan politik.
Relasi sosial antara mahasiswa dan buruh sesungguhnya menunjukkan bahwa keduanya memiliki nasib dan sepenanggungan yang tak jauh berbeda. Mereka sama-sama berada dalam himpitan sistem ekonomi kapitalisme global. Karl Marx, dalam Das Kapital, menyatakan bahwa kapitalisme bekerja dengan cara menghisap nilai lebih (surplus value) dari tenaga kerja yang tidak diberi kompensasi setimpal. Sebagaimana kondisi baik kelas pelajar maupun kelas pekerja saat ini, mereka masih menjadi objek penindasan negara dan kapitalis di bawah struktur ekonomi pasar bebas yang mengutamakan akumulasi keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan.
Dalam Cengkeaman Kapital
Di tengah tekanan akademik dan realitas sosial yang kompleks, mahasiswa kerap dihadapkan dengan biaya pendidikan yang semakin mahal dan sulit dijangkau. 2024 lalu, publik dikejutkan oleh melonjaknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) lebih dari 100% di sejumlah perguruan tinggi negeri. Kenaikan itu bukan hanya memberatkan mahasiswa, tapi juga memperjelas satu hal: pendidikan tinggi telah direduksi menjadi komoditas dan dikuasai oleh sistem liberalisasi pendidikan yang berbasis logika pasar bebas.
Akibatnya, mahasiswa dipaksa membayar ongkos mahal untuk memperoleh hak yang secara konstitusional dijamin oleh negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan kritik Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak menjadi alat penindasan, tetapi justru sebagai proses pembebasan. Namun kenyataannya, institusi pendidikan saat ini lebih banyak berperan sebagai mesin reproduksi kelas, bukan sebagai alat pembebasan.
Di lain sisi, kita juga menyadari bahwa banyak mahasiswa berasal dari latar belakang keluarga kelas pekerja: buruh pabrik, petani, nelayan, sopir, pedagang kecil—yang mengerahkan seluruh tenaganya demi menyekolahkan anaknya agar bisa memperbaiki ekonominya.
Namun, mimpi itu kerap kandas ketika mahasiswa telah menyelesaikan pendidikannya, mereka justru dihadapkan dengan adanya wajah buram dunia kerja. Salah satunya adalah betapa sulitnya mencari lapangan pekerjaan, yang kerap kali tidak dapat dijangkau karena ketidakjelasan sistem rekrutmen, dan ketika mereka sudah berstatus sebagai pekerja (buruh), mereka menghadapi buruknya sistem kerja yang eksploitatif—mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak hingga minimnya jaminan perlindungan pekerja.
Hegemoni Negara dan Kapitalis
Hal tersebut menjadi bukti bahwa kelas pekerja dan pelajar kerap kali dimanfaatkan sebagai alat hegemoni negara dan kapitalis. Antonio Gramsci, dalam teorinya tentang hegemoni, mengatakan bahwa dominasi kelas penguasa tidak hanya dijalankan secara koersif, tetapi juga secara kultural dan ideologis.
Dalam konteks ini, salah satu contohnya adalah slogan “kerja, kerja, kerja” yang pernah digaungkan rezim Jokowi ternyata hanya memberi ilusi semata kepada buruh, yang seakan-akan disuruh terus bekerja dan tunduk kepada tuannya tanpa memikirkan orientasi hasil dari pekerjaannya—ke mana dan untuk siapa. Akibatnya, buruh hingga saat ini masih terbelenggu dalam deregulasi kebijakan ketenagakerjaan yang sama sekali tidak memihak kepada mereka, dan hanya menguntungkan para elite negara dan kapitalis. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa buruh kesulitan mendapatkan akses terhadap alat produksi, kepemilikan tanah, rumah untuk tempat tinggal, dan ditambah lagi dengan upah murah yang tidak mencukupi biaya kehidupannya.
Tak dapat diragukan lagi, di negara yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun dalam praktiknya kita diperlihatkan dengan adanya negara dan kapitalis—pemilik modal, dalam hal ini pengusaha—bekerja sama dalam melakukan penjajahan berupa penindasan terhadap kelas pekerja dan kelas pelajar. Dalam hal ini, negara memberikan kuasa atas suatu tempat (lembaga) kepada pemodal, yang kemudian akan dimasuki oleh kelas pekerja dan pelajar untuk dieksploitasi dan direduksi tenaga dan pikirannya.
Maka pada posisi tersebut, relasi sosial antara buruh dan mahasiswa memang menjadi sasaran empuk sekaligus bukti konkret adanya persamaan nasib, sama-sama berada dalam himpitan penghisapan negara dan kapitalis dalam mengakumulasi kapitalnya. Salah satunya melalui konsep upah murah dan biaya pendidikan mahal, yang merupakan bentuk pelanggengan kapital untuk menguntungkan pemodal.
Jadi, jika kita menyandingkan dua kelas ini—buruh dan mahasiswa—mereka dapat menjadi kekuatan rakyat yang saling menguatkan, karena dua kelas ini memiliki satu penindas: hegemoni negara dan kapitalis. Seperti kata Marx, perubahan tidak akan datang dari atas, tetapi dari gerakan kelas yang sadar akan penindasannya.
Di momen peringatan Hari Buruh Internasional di bulan ini, penting bagi kita untuk merefleksikan makna solidaritas dan menyuarakan keadilan bersama dan melawan penindasan demimasa depan yang dibebaskan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.