TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehadiran Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China di Indonesia yang bekerja di sejumlah sektor seperti tambang mineral di Indonesia menjadi tantangan serius bagi hubungan bilateral antara Indonesia dengan Republik Rakyat China (RRC).
Menurut dosen Program Studi Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, tersebut, isu TKA China perlu mendapat perhatian yang serius pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Ini karena jumlah TKA China terus meningkat dan presentase kenaikan tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan TKA asing dari negara lain.
“Saya mengharapkan agar diskusi ini bukan hanya berfokus pada bagaimana memberdayakan masyarakat dan pekerja lokal, tetapi juga mendorong agar transfer teknologi dari China benar-benar terlaksana,” ujarnya di acara seminar bertajuk “Tenaga Kerja Asing dan Hubungan Indonesia China” yang diselenggarkan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.
Seminar ini juga menghadirkan pemerhati Tiongkok Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto dan Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Anggiat Napitupulu, dan Sub Koordinator Uji Kelayakan dan Pengesahan RPTKA Sektor Industri Kementerian Ketenagakerjaan RI, Ali Chaidar Zamani.
Ketua FSI Johanes Herlijanto berpendapat, isu TKA China sangat relevan bagi studi mengenai China dan hubungan Indonesia China karena isu ini dapat dipahami dalam kerangka migran baru asal RRC.
Menurutnya, berbeda dari “migran lama” yang membentuk komunitas etnik Tionghoa yang telah berakar dan menjadi bagian dari masyarakat setempat di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain, fenomena migran baru mulai muncul sejak tahun 1980-an, dan sebagian besar di antara mereka masih memegang kewarganegaraan RRC.
“Sebagian dari mereka berpendidikan tinggi dan memilih untuk bermigrasi ke negara-negara yang relatif kaya, seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Australia atau Selandia Baru,” kata Johanes yang juga dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH Jakarta.
Menurutnya, seiring dengan kebijakan RRC untuk memberikan bantuan serta berinvestasi dengan negara lain, TKA China turut membentuk fenomena “migran baru” tersebut.
Kedatangan TKA menjadi bagian dari ‘bantuan terikat’ dari China yang mensyaratkan pemanfaatan tenaga kerja dan bahan asal negaranya sendiri untuk mengerjakan proyek-proyek yang didanai oleh bantuan atau investasi dari China.
Menurut Johanes, kehadiran tenaga kerja itu mendapat penerimaan yang beragam dari masyarakat Indonesia dari berbagai periode.
DI pertengahan 2000-an, masyarakat Indonesia menganggap kehadiran TKA China sebagai inspirasi, khususnya karena etos kerja mereka, yang antara lain memperlihatkan kedisiplinan.
Namun sejak 2015 di masyarakat Indonesia telah berkembang persepsi negatif masyarakat terhadap kehadiran TKA China, khususnya terkait jumlah dan persentasi mereka, potensi mereka menjadi pesaing bagi para pencari kerja lokal.
Mereka juga jadi sorotan masyarakat Indonesia kesenjangan budaya, dan isu terkait legalitas status kerja mereka.
Dalam pandangan Johanes, meski persepsi yang berkembang di masyarakat bisa berbeda dari realita yang ada, kekhawatiran yang berkembang dalam masyarakat dapat dipahami.
Johanes juga memberi perhatian khusus pada persentasi TKA China yang cukup tinggi serta kecenderungan peningkatannya dari tahun ke tahun.
Soal legalitas sebagian TKA China juga patut mendapat perhatian khusus.
“Seperti dituliskan dalam studi dari seorang profesor di sebuah universitas di manca negara, sebagian dari TKA asal China tak jarang melakukan praktik ‘easy come easy go,’ yaitu datang dengan visa yang tak sesuai aturan izin kerja untuk bekerja di Indonesia, lalu pergi meninggalkan Indonesia ketika masa berlaku visa habis, dan kembali lagi ke Indonesia setelah beberapa waktu,” kata Johanes.
Menurutnya, Pemerintah China sebenarnya dapat mencari solusi untuk mengurangi kehadiran TKA-nya di negara lain, antara lain dengan memberi perhatian pada transfer teknologi dan pengetahuan.
“Alih-alih berkutat pada anggapan bahwa pekerja Indonesia kurang mumpuni dan memiliki kesulitan komunikasi dengan pihak China, RRC diharapkan meningkatkan komitmen untuk melakukan transfer teknologi dan transfer pengetahuan sehingga di masa mendatang terdapat pekerja-pekerja Indonesia yang memiliki kecakapan setara dengan TKA asal China dan dapat berkomunikasi dengan baik dengan rekan-rekan mereka asal RRC,” pungkasnya.
Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Anggiat Napitupulu menilai, telah terjadi perubahan dalam hal perizinan sejak berlakunya Undang Undang Cipta Kerja.
Menurutnya, perubahan tersebut antara lain berupa penyederhanaan perizinan TKA, serta visa dan izin tinggal yang dapat diperoleh dengan lebih cepat.
Dia menjelaskan, kebijakan investasi RRC kini telah bergeser, dari yang dulu dikenal sebagai 3 M, yaitu Money (modal atau uang), Manpower (tenaga kerja), dan material (bahan baku) berubah menjadi pendekatan yang lebih strategis dan berkualitas tinggi.
“China kini memiliki fokus baru, seperti transfer teknologi, kolaborasi industri, green investment (investasi hijau), ekonomi digital dan infrastruktur cerdas, dan memberi penekanan pada penggunaan TKA yang berada pada level tinggi, seperti teknisi dan supervisor,” ujarnya.
Ali Chaidar Zamani dari Sub Koordinator Uji Kelayakan dan Pengesahan RPTKA Sektor Industri Kementerian Ketenagakerjaan RI mengatakan, selama 2024 saja pihaknya telah menerbitkan pengesahan RPTKA sebanyak 101 ribu lebih.
“Angka ini masih berupa perizinan di atas kerja, dan belum tentu merepresentasikan jumlah TKA asing yang memasuki Indonesia,” ujarnya.
Zamani menjelaskan alasan yang sering disampaikan perusahaan ketika mengajukan permohonan penggunaan TKA China adalah karena proyek yang dikerjakan adalah proyek serah kunci (turn key project). Pengoperasian teknologi dan mesin-mesinnya juga mengacu negara asal.
“Ada isu kepercayaan, disiplin dan etos kerja, serta ketersediaan tenaga ahli,” ungkapnya.
Meski demikian, TKA yang datang tidak menggantikan tenaga kerja lokal, tetapi melengkapi kebutuhan sementara yang belum dapat dipenuhi dalam negeri.
Zamani juga menyatakan, pemerintah terus mendorong penguatan kapasitas sumber daya manusia nasional agar ke depan posisi posisi yang saat ini diisi oleh TKA dapat sepenuhnya diambil alih oleh tenaga kerja Indonesia.
Namun demikian, pemerhati ekonomi dari Universitas Paramadina, Muhammad Iksan, menyatakan bahwa kehadiran TKA asal RRC dalam beberapa waktu ke depan masih akan mewarnai masyarakat Indonesia.
“Ini karena Indonesia masih akan menjadi negara tujuan investasi RRC di masa mendatang,” ujarnya.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia perlu mengurangi ekses atau dampak negatif dari kedatanganan TKA China dengan memperkuat pengawasan izin bekerja yang baru, disertai percepatan alih pengetahuan dan alih teknologi bagi perusahan penanaman modal asing asal RRC.
“Dengan demikian dominasi penggunaan TKA asal RRC dapat dikurangi,” ujar Iksan. (tribunnews/fin)