TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Pernahkah kamu bayangkan sebuah ormas yang baru berdiri di satu provinsi, tiba-tiba mendapat penolakan keras dari komunitas adat di provinsi lain?
Itulah yang terjadi dengan GRIB Jaya, yang baru saja resmi beroperasi di Jawa Tengah sejak April 2025, namun langsung dibayang-bayangi kontroversi.
Di Bali, pecalang—petugas keamanan adat—tak terima begitu saja dengan kehadiran ormas ini, dan mereka bersikeras bahwa Bali sudah punya sistem sendiri untuk menjaga keamanan dan tatanan adat.
Apa yang membuat mereka begitu khawatir? Apa yang sebenarnya sedang dipertaruhkan di sini? Temukan jawabannya!
Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, ormas yang dibina oleh tokoh kontroversial Hercules, kini menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Tengah.
Setelah resmi terdaftar secara legal sejak April 2025, GRIB Jaya kini telah memenuhi persyaratan administratif dan telah beroperasi di seluruh kota dan kabupaten di provinsi tersebut.
Namun, meskipun tidak ada penolakan di Jawa Tengah, keberadaan mereka justru menuai perlawanan keras di Bali.
Kepala Kesbangpol Jawa Tengah, Haerudin, mengungkapkan bahwa GRIB Jaya sudah terdaftar dengan sah sesuai prosedur yang berlaku.
“Sudah sesuai prosedur,” ujarnya pada Selasa (6/3/2025).
Haerudin juga menegaskan bahwa ormas ini diharapkan untuk menjaga ketertiban, mencerdaskan masyarakat, dan melindungi kehidupan bangsa.
“Harus tunduk pada ADRT dan hukum,” imbuhnya.
Namun, situasi berbeda terjadi di Bali. Kehadiran GRIB Jaya di Pulau Dewata menuai penolakan tegas dari pecalang, yang merupakan petugas keamanan adat Bali.
Penolakan ini viral setelah sebuah video pelantikan DPD GRIB Bali tersebar luas di media sosial, dibagikan oleh Senator RI Ni Luh Djelantik pada Minggu (4/5/2025).
Dalam video tersebut, seorang pria bernama Rahmat, yang mengaku sebagai Panglima Satgas GRIB DPD Bali, memperkenalkan diri dalam sebuah acara.
Namun, perkenalan itu disambut dengan penolakan keras dari seorang pecalang yang mengatakan, “Kami bukan penjaga biasa. Kami bagian dari sistem adat yang diwariskan turun-temurun untuk menjaga Bali.”
Pecalang tersebut menegaskan bahwa masyarakat Bali tidak membutuhkan ormas luar karena sudah memiliki sistem keamanan adat yang telah berjalan lama dan terbukti kuat.
“Bali tidak butuh ormas luar, tidak butuh pihak asing yang datang membawa agenda,” tegas pecalang dalam video tersebut.
Penolakan ini mengarah pada kekhawatiran akan rusaknya tatanan adat Bali yang telah dijaga oleh lebih dari 1.500 desa adat, di mana pecalang berperan aktif menjaga keamanan tanpa campur tangan pihak luar.
Pecalang juga menegaskan bahwa mereka tidak digerakkan oleh politik, melainkan oleh tanggung jawab terhadap adat dan tanah kelahiran mereka.
“Kami ada di akar rumput, tahu apa yang kami jaga, dan apa yang kami lindungi,” tambahnya.
Selain itu, penolakan terhadap GRIB Jaya juga tertuang dalam sebuah surat terbuka yang ditulis oleh Wayan Darmaya, Ketua Pecalang DA Sulanyah, Kecamatan Seririt, Buleleng.
Surat tersebut ditujukan kepada Gubernur Bali, Bandesa Agung MDA Provinsi Bali, dan Manggala Agung Pasikian Pecalang Provinsi Bali, yang menyinggung Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.
Dalam suratnya, Wayan menyampaikan bahwa kehadiran pecalang sudah cukup menjaga stabilitas Bali dan memohon untuk memperkuat lembaga Pasikian Pecalang dengan anggaran yang layak.
“Kehadiran pecalang sudah cukup menjaga stabilitas Bali. Kami memohon penolakan atas keberadaan ormas luar dan penguatan lembaga Pasikian Pecalang Bali,” kata Wayan dalam surat terbuka tersebut.
Dengan demikian, meskipun GRIB Jaya telah mendapatkan status legal di Jawa Tengah, perlawanan terhadap ormas ini di Bali menunjukkan ketegangan antara modernisasi dan pelestarian adat yang telah lama ada di masyarakat Bali.
Konflik ini berpotensi memperuncing ketegangan antar kelompok yang berbeda pandangan mengenai peran ormas dalam menjaga keamanan dan tatanan masyarakat.