Kerajaan Buton, kerajaan Islam yang menganut sistem monarki konstitusional. Raja dipilih oleh lembaga khusus yang terdiri atas para penjaga adat buton.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kerajaan Buton atau Kesultanan Buton adalah kerajaan Islam terbesar di Sulawesi Tenggara. Berdiri pada abad ke-14, Kerajaan Buton menjadi kerajaan Islam pada abad ke-16.
Di awal-awal keberadaannya, Kerajaan Buton pernah dipimpin oleh dua orang perempuan: Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Inilah sejarah Kerajaan Buton, kerajaan Islam terbesar di Sulawesi Tenggara.
Sejarah Kerajaan Buton
Seperti disebut di awal, Kerajaan Buton sudah ada sejak abad ke-14, tepatnya pada1332, ketika itu Islam belum mewarnai kerajaan ini. Pada awal-awal keberadaannya, Kerajaan Buton diperintah oleh dua penguasa perempuan: Wa Kaa Kaa dan Bulawambona.
Tapi setelah itu, secara berturut-turut,kekuasaan dilanjutkan oleh Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan Raja Murhum. Di zaman Raja Murhum inilah pengaruh Islam mulai masuk dan kerajaan resmi berubah menjadi Kesultanan Buton.
Setelah masuk Islam, gelar yang diberikan kepada Raja Buton adalah Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Meskipun begitu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang asal-usul masuknya agama Islam di Buton.
Menurut beberapa kalangan,Buton berubah menjadi kerajaan Islam setelah mendapatkan pengaruh dari Ternate. Sementara menurut sebagian yang lain, Islam datang di Buton berkat pengaruh dari Johor.
Sosok yang membawa agama dan ajaran Islam dari Johor ke Buton adalah Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani. Setelah sampai di Buton, dia mengislamkan raja keenam yang bernama Timbang Timbangan atau Lakilapotan, yang lebih dikenal sebagai Raja Halu Oleo.
Setelah masuk Islam, Raja Halu Oleo bergelar Ulil Amri dan menggunakan gelar khusus, yaitu Sultan Qaimuddin. Di luar beda pendapat itu, para sejarawan satu suara bahwa Kerajaan Buton resmi menjadi kerajaan Islam pada abad ke-16.
Berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang menerapkan monarki absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah monarki konstitusional. Sehingga, pada periode kerajaan berubah menjadi kesultanan, demokrasi memegang peranan penting.
Sultan bukan diwariskan berdasarkan keturunan saja, tetapi dipilih oleh Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang penguasa dan penjaga adat Buton. Tak hanya itu, Kerajaan Buton juga memiliki undang-undang sendiri, lengkap dengan badan-badan yang bertindak sebagai legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Badan-badan yang dimaksud adalah Sara Pangka (eksekutif), Sara Gau (legislatif), dan Sara Bitara (Yudikatif). Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang diresmikan oleh Sultan La Elangi (1597-1631) dan digunakan hingga kesultanan dihapuskan.
Yang menarik,hukum di Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang, tidak hanya rakyat jelata tetapi juga pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun. Terbukti, selama empat abad berdiri, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum karena melanggar undang-undang.
Kesultanan Buton juga memegang lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).
Masa kejayaan Kerajaan Buton
Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton pernah menguasa Pulau Buton dan beberapa wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk mendukung pemerintahannya, kesultanan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Pulau Jawa.
Hubungan itu membuat perekonomian Kesultanan Buton berkembang pesat, terutama dalam sektor perdagangan. Terlebih lagi, Buton termasuk wilayah strategis, yang sering dilalui oleh kapal dagang dari mancanegara.
Tak hanya itu produksi rempah-rempahnya juga meningkat tajam. Kesultanan Buton diketahui telah memiliki alat pertukaran atau mata uang yang disebut kampua, yakni sehelai kain tenun berukuran 17,5 cm x 8 cm. Pada abad ke-17, pemerintahan Buton telah mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik, di mana pajaknya agak ditagih oleh seorang Tunggu Weti.
Sejak awal abad ke-17, Kesultanan Buton telah menyepakati perjanjian dengan VOC. Namun, dalam perkembangannya, VOC mulai menunjukkan niat buruknya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Buton.
Sebagai hasilnya hubungan keduanya pun memburuk hingga berujung pada serangkaian peperangan yang menewaskan banyak korban. Kendati demikian, Kesultanan Buton berhasil mempertahankan kerajaannya dari gempuran VOC. Bahkan sampai akhir pun Belanda tidak dapat menguasai Buton.
Meski berhasil memerangi Belanda, masa kemunduran Kesultanan Buton ternyata justru datang karena konflik internal kerajaan. Kekuatan kesultanan pun semakin melemah hingga Indonesia merdeka.
Pada akhirnya, Kesultanan Buton hanya dapat bertahan hingga 1960, ketika sultan terakhirnya meninggal. Setelah itu, Kesultanan Buton bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Begitulah riwayat Kerajaan Buton, kerajaan Islam yang pernah dipimpin oleh dua pemimpin perempuan.