Ketua KPK Sebut Direksi dan Komisaris BUMN Tetap Penyelenggara Negara, Wajib Lapor LHKPN
GH News May 08, 2025 08:04 AM

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengatakan anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap berkewajiban menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.

Sebab berdasarkan UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), KPK menganggap anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara.

"Sebagai penyelenggara negara, maka direksi/komisaris/pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan LHKPN dan penerimaan gratifikasi," kata Setyo dalam keterangan tertulis, Kamis (8/5/2025).

UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menjadi polemik, sebab dalam substansinya menyebutkan bahwa direksi dan komisaris bukan lagi sebagai penyelenggara negara.

Aturan itu tersemat dalam Pasal 9G UU BUMN yang menyatakan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan Penyelenggara Negara.

Menurut Setyo, ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya dalam UUNomor 28 Tahun 1999.

Ia mengatakan keberadaan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN.

Selain itu, KPK turut menyoroti tentang Pasal 4B UU Nomor 1 tahun 2025 berkenaan dengan Kerugian BUMN bukan Kerugian Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.

Menurut komisi antikorupsi, kerugian BUMN merupakan kerugian negara.

Hal itu merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 48/PUUXI/2013 dan Nomor 62/PUUXI/2013 yang kemudian dikuatkan Putusan MK Nomor 59/PUUXVI/2018 dan Nomor 26/PUUXIX/ 2021.

Setyo mengatakan, hal tersebut menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.

"Telah diputuskan oleh majelis hakim MK bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara," katanya.

"Sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK," ujar Setyo menambahkan.

Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana kepada direksi/komisaris/pengawas BUMN.

Hal tersebut dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y dan 9F UU Nomor 1 Tahun 2025.

Misalnya diakibatkan adanya fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara, yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas BUMN.

"Maka dari itu, KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas di BUMN," kata Setyo.

"Karena dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara, dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/ penyimpangan atas prinsip BJR," sambungnya.

Hal ini, lanjut Setyo, juga sejalan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta Putusan MK Nomor 62/PUUXVII/2019, di mana kata “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif. 

"Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya," ujar Setyo.

Untuk informasi, UU Nomor 1 Tahun 2025 merupakan peraturan perundangundangan yang baru ditetapkan dan berlaku sejak 24 Februari 2025. UU tersebut mengubah UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Pasal 9G dalam UU BUMN terbaru berbunyi: “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

Di sisi lain, salah satu objek yang ditindak oleh KPK adalah penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. 

Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum hingga penyelenggara negara, dan merugikan negara paling sedikit Rp1 miliar.

Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir menilai pelaku korupsi harus tetap menjalani proses hukum meski bukan penyelenggara negara. 

"Kalau korupsi, ya korupsi. Enggak ada hubungan dengan penyelenggara negara atau tidak penyelenggara negara. Itu kan jelas," ucap Erick.

Erick mengatakan Kementerian BUMN bersama KPK dan pihak kejaksaan tengah duduk bersama untuk membahas perihal pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN. 

Kementerian BUMN juga memberikan tugas baru kepada para direksi untuk melakukan pengawasan dan investigasi terhadap korporasi.

"Sekarang Kementerian BUMN salah satu tugasnya, itu pengawasan dan investigasi juga. Karena itu di SOTK (struktur organisasi dan tata kelola) yang terbaru, nanti deputi BUMN kan menambah dari tiga ke lima ya, salah satunya fungsinya tadi menangkap korupsi. Itu yang kita tidak punya ekspertis," kata Erick.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.