TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan user terminal satelit slot orbit 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI tahun 2016.
Ketiganya memiliki peran berbeda dalam perkara koneksitas ini, yaitu sebagai pejabat pembuat komitmen, perantara, dan pelaksana kontrak pengadaan.
Mereka adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardo (LNR), Anthony Thomas Van Der Hayden (ATVDH), dan Gabor Kuti (GK). Dua nama terakhir masing-masing adalah Warga Negara Amerika Serikat dan Hungaria.
Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung, Brigjen TNI Andi Suci, menyebut tersangka LNR saat itu menjabat Kepala Badan Sarana Pertahanan dan sekaligus selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemhan.
Dia berperan untuk menandatangani kontrak dengan GK, yang merupakan CEO Navayo International AG.
Kontrak tersebut adalah untuk penyediaan terminal pengguna dan peralatan yang terkait (Agreement for The Provision of User Terminal and Related Service and Equipment).
Nilai kontrak yang ditandatangani adalah 34,1 juta dollar AS yang kemudian berubah menjadi 29,9 juta dollar AS.
Andi Suci juga mengatakan penunjukan Navayo dilakukan tanpa adanya proses pengadaaan barang dan jasa.
"Penandatanganan kontrak itu dibuat tanpa adanya anggaran," ujar Andi Suci dalam konferensi pers di Kejagung, Rabu (7/5/2025) malam.
Tersangka kedua, ATVDH, adalah tenaga ahli satelit yang ditunjuk Kemhan. Dia juga berperan sebagai perantara atau broker dalam proyek tersebut.
ATVDH merupakan Warga Negara Amerika Serikat yang sebelumnya sudah terjerat kasus pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT di Kemhan pada 2023.
"Fungsinya, dia (ATVDH) adalah sebagai perantara, sehingga nanti diputuskan dalam perkara yang berbeda," jelas Andi.
Sementara tersangka ketiga adalah GK, CEO dari perusahaan Navayo International AG yang berbasis di Hungaria.
GK diduga menjadi pelaksana kontrak tanpa melalui prosedur lelang dan menyerahkan invoice fiktif kepada Kemhan.
Bahkan perusahaan tersebut mengklaim telah mengerjakan proyek dengan mengajukan empat surat Certificate of Performance (CoP) yang ternyata tidak pernah diverifikasi.
"CoP tersebut telah disiapkan oleh tersangka ATVDH dan GK tanpa dilakukan pengecekan atau pemeriksaan barang yang dikirim Navayo terlebih dahulu," ungkap Andi.
Dari hasil pemeriksaan, pekerjaan Navayo International AG dinilai tidak mampu menghasilkan sistem user terminal yang layak.
"Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap handphone sebanyak 550 buah tidak ditemukan Secure Chip, inti dari pekerjaan User Terminal," ujar Andi.
Akibat CoP yang telah diteken, pemerintah RI kemudian digugat ke arbitrase internasional di Singapura dan dinyatakan harus membayar lebih dari 20 juta dolar AS.
Sementara menurut perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebanyak 21,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 300 miliar.
Tidak hanya itu, ada juga permohonan untuk menyita Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris.
Penyitaan itu berdasar putusan pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 KUHP.
Selain itu, tersangka pun dijerat dengan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 KUHP.
Lebih Subsider, Pasal 8 juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 KUHP.