Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan permohonan uji formil terhadap UndangUndang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 soal Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/5/2025) lalu.
Saat ini permohonan tersebut telah diproses oleh MK dan sudah teregistrasi dengan Nomor Perkara 81/PUUXXIII/2025.
Di laman resmi MK, terdapat enam pemohon yang terdiri dari tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Serta tiga pemohon perorangan yaitu putri Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inayah Wahid, Aktivis HAM Fatiah Maulidiyanty, dan mahasiswi Sekolah Hukum Jentera Eva Nurcahyani.
Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana mengatakan pembentukan UU TNI dilakukan secara ugalugalan (abusive law making) dan melanggar sejumlah peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ia mengungkapkan bahwa revisi UU TNI tibatiba masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 tanpa melalui agenda rapat paripurna yang sah pada 18 Februari 2025.
Keputusan tersebut, menurut mereka, diambil sepihak oleh Ketua Sidang Adies Kadir yang merupakan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar.
"(Perencanaan revisi UU TNI dalam Prolegnas) Melanggar Pasal 1 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, serta Pasal 22A UUD 1945, juga UU Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (UU P3) dan Tata Tertib DPR," ujar Arif dalam keterangannya, Selasa (13/5/2025).
Ia menegaskan seharusnya setiap perubahan dalam Prolegnas wajib dibahas secara transparan dalam rapat paripurna dan mendapatkan persetujuan berdasarkan musyawarah, bukan keputusan sepihak.
Selanjutnya, Tim Advokasi menyoroti revisi UU TNI tidak termasuk dalam 12 RUU yang berstatus carry over dalam Prolegnas Prioritas 2025 maupun Prolegnas Jangka Menengah 20252029.
Berdasarkan ketentuan, RUU yang tidak termasuk dalam carry over seharusnya kembali melalui tahapan perencanaan dan penyusunan dari awal, bukan langsung dibahas di tingkat legislatif.
Selain persoalan prosedural, Tim Advokasi menilai substansi revisi UU TNI juga tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998.
Salah satu poin krusial yang dipermasalahkan adalah penambahan posisi jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif, sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 revisi UU tersebut.
Lebih lanjut,proses pembahasan revisi UU TNI juga disorot karena dinilai tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Tim Advokasi menyebutkan dokumen penting seperti Naskah Akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), hingga naskah undangundang tidak dapat diakses oleh publik.
Bahkan rapatrapat pembahasan digelar secara tertutup tanpa pengawasan masyarakat sipil.
Situasi ini dianggap melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) dan (3) serta Pasal 28F UUD 1945.
Tim Advokasi juga menyebut naskah final Revisi UU TNI belum dipublikasikan secara resmi baik di laman Pemerintah maupun DPR.
Kondisi ini dinilai menyalahi asas keterbukaan yang diatur dalam Pasal 95 UU Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
"Hal ini jelas menyalahi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UU Pembentukan Peraturan PerundangUndangan," pungkas Arif.