TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Jember – Praktik korupsi yang melibatkan pencairan kredit fiktif terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Sebanyak 10 debitur dihadirkan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penyaluran kredit wirausaha di salah satu bank plat merah cabang Jember, Jawa Timur.
Para debitur yang dihadirkan dalam sidang tersebut merupakan petani desa. Identitas mereka diduga dicatut oleh oknum Koperasi Simpan Pinjam Jember, untuk mengajukan kredit sepanjang 2021 hingga 2023.
Dalam perkara ini, empat terdakwa didakwa terlibat, yaitu Ketua KSP MUMS berinisial SD, dua manajer koperasi berinisial IAN dan DK, serta Kepala Cabang BNI Jember periode 2018–2023 berinisial MFH.
Menurut Alananto, anggota tim penasihat hukum terdakwa SD dan IAN, kasus ini melibatkan sekitar 150 orang petani yang identitasnya digunakan tanpa izin. Namun, dalam persidangan sejauh ini, jaksa baru menghadirkan 10 debitur sebagai saksi.
“Mayoritas korban adalah petani desa dengan literasi keuangan yang rendah,” kata Alananto saat ditemui usai sidang, Selasa (13/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa Kredit BWU seharusnya diberikan kepada petani tebu yang memiliki lahan minimal 40 hektare dan kontrak giling dengan Pabrik Gula (PG) Semboro. Namun, kenyataannya, sebagian besar petani di Jember tidak memenuhi syarat tersebut.
“Petani dengan lahan seluas itu sangat jarang. Jadi kredit ini seharusnya tidak layak dicairkan,” lanjutnya.
Alananto menilai, pencairan kredit secara massal ini terjadi karena adanya tekanan target dari pihak bank. Ia menyebut Kepala Cabang, MFH, diduga bekerja sama dengan pengurus KSP MUMS untuk merekayasa pencairan dana.
“BNI Jember menyalurkan dana Kredit senilai Rp133,9 miliar kepada 150 kreditur tanpa prosedur yang sah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan dana yang dicairkan tidak pernah benar-benar diterima oleh debitur yang namanya digunakan dalam pengajuan kredit.
“Setelah dana cair, uangnya tidak diserahkan ke petani. Para terdakwa yang menikmati hasilnya,” ujar Alananto.
Para petani, kata dia, hanya diberi imbalan kecil—sekitar Rp500 ribu hingga Rp1 juta—dengan iming-iming sebagai ‘tanda terima kasih’. “Mereka tidak menyadari bahwa tanda tangan mereka dalam berkas kredit akan menimbulkan risiko hukum yang besar,” katanya.
Fakta lain yang terungkap dalam persidangan menunjukkan bahwa para debitur bukan hanya tidak memenuhi syarat sebagai penerima kredit, tetapi juga tidak memahami konsekuensi dari keterlibatan mereka.
“Mereka tidak tahu bahwa tanda tangan mereka membuat mereka secara administratif bertanggung jawab atas pinjaman. Bahkan aset pribadi seperti rumah bisa disita bank,” kata Alananto.
Berdasarkan keterangan saksi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam sidang, nilai kerugian negara akibat kasus ini ditaksir mencapai Rp141 miliar.
“Namun, kami menilai jumlah tersebut masih perlu diuji lebih lanjut melalui saksi ahli yang akan kami hadirkan,” ujar Alananto.
Kasus ini pertama kali diungkap oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 9 Oktober 2024. Saat itu, tiga tersangka utama yakni SD, IAN, dan MFH diamankan karena diduga terlibat dalam praktik pencairan kredit tanpa prosedur yang benar.
(Imam Nawawi/TribunJatimTimur.com)