Main Hakim Sendiri: Saat Nurani Kita Dicuri Lebih Dulu
Nur Adila Khoirunisa May 13, 2025 06:20 PM
Teriakan “Maling!” sering kali menjadi pemantik ledakan emosi yang membakar nalar. Tanpa menunggu penjelasan, tanpa memberi ruang bagi proses hukum, tubuh seorang manusia bisa menjadi sasaran tendangan, pukulan, bahkan kematian di tangan kerumunan yang merasa sedang menegakkan keadilan.
Terjadi di depan banyak mata. Namun, sangat jarang terdengar jeritan “hentikan!”
Kekerasan yang Dilegalkan Emosi
Main hakim sendiri bukanlah fenomena baru di negeri ini. Tapi yang membuatnya terus berulang adalah diamnya masyarakat terhadap praktik tersebut, seolah itu adalah konsekuensi sah dari perbuatan si pelaku.
Padahal, kejahatan, sekecil apa pun itu, tetap berada dalam ranah hukum. Negara telah membentuk aparat untuk menangani pelanggaran hukum secara adil dan manusiawi. Namun, ketika warga merasa bahwa hukum tak lagi bisa diandalkan mereka mengambil alih peran itu, dengan cara yang brutal.
Yang dilupakan adalah: keadilan tanpa prosedur bukanlah keadilan, melainkan pembalasan. Dan pembalasan massa kerap lahir dari amarah, bukan kebenaran.
Mencuri karena Lapar, Dihukum karena Miskin
Banyak pelaku kejahatan kecil seperti pencuri, sebenarnya hanyalah bagian dari rantai kemiskinan struktural yang tak kunjung putus. Ada yang mencuri karena tak bisa makan, ada yang mencuri karena dipecat dan putus sekolah, ada juga yang melakukan karena tak punya pilihan.
Namun dalam sistem sosial yang timpang, kemiskinan sering dianggap sebagai kesalahan moral. Ketika orang miskin mencuri, ia dicap jahat. Tapi ketika orang kaya korupsi, kita cenderung menanggapinya dengan sindiran, bukan tendangan.
Ironisnya, masyarakat bisa begitu beringas kepada pencuri sandal, tapi tidak berlaku sama terhadap pencuri uang rakyat.
Negara Tak Boleh Absen
Tindakan main hakim sendiri adalah bentuk keputusasaan yang seharusnya tidak perlu terjadi jika sistem hukum berjalan adil, cepat, dan transparan. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap penegak hukum, mereka mencari "keadilan" versi sendiri yang sering kali tidak beradab.
Ini bukan hanya tentang tindakan massa, tapi tentang kegagalan negara melindungi dua pihak sekaligus: korban kejahatan, dan tersangka yang seharusnya diproses sesuai hukum.
Karena pada akhirnya, bukan hanya si pencuri yang salah. Kita semua bersalah ketika membiarkan hukum tunduk pada amarah.
Keadilan Tidak Dilahirkan oleh Kerumunan
Keadilan tidak bisa ditegakkan dengan tongkat kayu dan keroyokan. Ia harus lahir dari proses hukum yang menjunjung hak asasi manusia. Sekalipun seseorang bersalah, ia tetap warga negara. Ia punya hak dibela, hak untuk hidup, dan hak atas proses hukum yang adil.
Kita harus bertanya pada diri sendiri: siapa yang lebih berbahaya seorang pencuri, atau kerumunan yang kehilangan hati nurani?
Karena saat amarah mengalahkan hukum, kita tak lagi hidup dalam masyarakat beradab melainkan dalam rimba.