TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kecelakaan kapal wisata yang mengangkut 104 penumpang di Pantai Berkas Bengkulu menyebabkan 7 wisatawan meninggal serta beberapa orang harus dirawat di rumah sakit. Peristiwa ini terjadi pada Minggu (11/5/2025).
Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono menyoroti tentang kekurangan pengawasan terhadap kondisi transportasi wisata laut, baik alat transportasi maupun sumber daya manusia pengendali kapalnya serta petugas penyelamatan di area wilayah destinasi wisata tersebut.
"Yang perlu disoroti adalah terkait aspek keselamatan dan kenyamanannya," kata BHS, sapaan akrab legislator dari Partai Gerindra ini, Kamis (15/5/2025).
Seharusnya, kata dia, ada evaluasi apakah kapal itu layak untuk membawa penumpang atau tidak dan apakah kapasitas penumpang yang dibawa sesuai dengan kemampuan kapal tersebut bahkan kenyamanannya harus diperhatikan.
"Termasuk juga di pesisir pantai dan laut yang digunakan untuk operasional kapal harus tersedia penjaga laut dan pantai (coast guard atau KPLP)," kata Bambang Haryo.
Seperti diketahui, Kapal Tiga Putra yang dinakhodai oleh Didi Susanto yang membawa 98 wisatawan mengalami karam terbentur di dasar laut sehingga diperkirakan terjadi kebocoran kapal yang menyebabkan 34 wisatawan harus dibawa ke rumah sakit dan 7 di antaranya meninggal dunia
Menurut informasi, kapal ini sudah rutin melayani perjalanan wisata bagi para wisatawan yang ingin berlibur ke Pulau Tikus dengan jarak tempuh 5 mil dengan waktu sekitar satu jam dari pantai Kota Bengkulu.
Bambang Haryo juga menekankan pada setiap lokasi wisata pantai, terutama yang ada kaitannya dengan transportasi laut, sudah seharusnya memiliki coast guard atau penjaga pantai atau lembaga serupa seperti Basarnas atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang selalu siaga setiap saat.
Ia sering melihat jika sebagian besar di semua kawasan pantai tidak selalu tersedia infrastruktur dan SDM penyelamat untuk kebutuhan wisatawan bila terjadi tenggelam pada saat berenang maupun menggunakan transportasi laut di wilayah destinasi.
"Seperti misalnya, di beberapa kawasan pantai Yogyakarta, Bali, Lombok dan pesisir Utara Jawa sehingga kebanyakan korban selalu diselamatkan oleh nelayan. Bukan oleh satuan tugas seperti coast guard itu," ujarnya.
Seperti kejadian di Pantai Berkas Bengkulu, lanjutnya, kejadian kapal mengalami kebocoran sudah berada dekat dengan pesisir pantai.
"Jika ada satuan tugas itu yang siaga, maka besar kemungkinannya tidak akan menimbulkan korban jiwa. Ke depannya, saya harap para petugas keselamatan ini bisa dihadirkan oleh pemerintah daerah ataupun pusat di setiap lokasi wisata pantai atau laut yang ada di Indonesia," ujarnya lagi.
Dengan melihat kapasitas kapal yang hanya berukuran panjang sekitar 10 meter dan lebar sekitar 4 meter, ditumpangi hingga 104 orang pelayar bisa diperkirakan kapal tersebut overload atau kelebihan penumpang.
Apalagi kapal memiliki konstruksi sangat sederhana dan memiliki bahan dari kayu yang memiliki daya apung tidak terlalu besar dan bahkan terlihat penumpang ditempatkan berjejal di dasar atau bottom kapal tersebut.
"Ini sangat tidak layak dari sisi kenyamanan dan keselamatan untuk wisatawan. Seharusnya, petugas dari regulator yang mengijinkan kapal berangkat harus mengetahui sekaligus memastikan kapal wisata yang akan berlayar apakah mempunyai jumlah penumpang yang sesuai dengan kapasitas daya apung serta kapasitas jumlah alat keselamatan yang sesuai dengan penumpang yang akan berlayar," tegasnya.
Ia menambahkan, apabila tidak sesuai, maka seharusnya dengan tegas melarang kapal tersebut untuk berlayar karena kapal mempunyai keterbatasan dari daya apung sekaligus jumlah alat keselamatan yang tersedia di kapal.
Bila perlu, Bambang Haryo pun meminta Kementerian Perhubungan untuk mendata semua kapal-kapal yang menjadi fasilitas tempat destinasi pantai yang disesuaikan dengan standarisasi regulasi yang berlaku di klasifikasi Non Concention Bessel standart (NCVS) serta SDM-nya yang mengendalikan operasional kapal wisata juga diberikan pembekalan tentang keselamatan.
Bambang pun menyampaikan, sudah seharusnya kapal-kapal wisata yang ada di destinasi juga dilengkapi dengan radio SSB (Single Side Band) yang memiliki gelombang radio pantai yang langsung terhubung ke coast guard, sehingga bila terjadi cuaca buruk bisa segera menginformasikan ke pusat radio pantai untuk minta pertolongan dan diharapkan juga kementerian pariwisata (Kemenpar) bisa menjadi leading sector untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan publik di setiap destinasi wisata.
Dan Kemenpar, lanjutnya, harus bisa berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya, untuk penyediaan infrastruktur yang sesuai standar kenyamanan dan keselamatan serta sumber daya manusia pengendali infrastruktur yang terlatih dan mempunyai kompetensi dan juga petugas kepelabuhanan yang profesional untuk mengawasi keselamatan dan kenyamanan di destinasi pariwisata
BHS yang merupakan alumni ITS Perkapalan tersebut berharap sertifikasi yang diberlakukan untuk kapal yang beroperasi di destinasi wisata termasuk sertifikasi SDM-nya tidak membebani usaha transportasi laut di wilayah tersebut sehingga pemerintah hadir tanpa memberatkan para pemilik kapal.
Semua itu dilakukan pemerintah untuk memastikan keselamatan pengguna jasa bisa terjamin dan industri pariwisata pantai Indonesia dapat terus bertumbuh.
"Jangan sampai kejadian seperti ini menurunkan minat wisatawan untuk datang ke pantai. Publik atau wisatawan harus terjamin keselamatan, keamanan, dan kenyamanannya. Perlu diingat, panjang pantai Indonesia itu adalah yang ke-dua di dunia. Harusnya bisa dioptimalkan, bukan hanya promosinya tapi juga infrastruktur, SDM dan persiapannya," pungkasnya. (*)