TRIBUNNEWS.COM - Lawatan Donald Trump ke Teluk Arab mencakup Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab tanpa singgah di Israel telah memunculkan spekulasi publik.
Ini karena Israel dikenal sebagai sekutu utama Washington di wilayah tersebut,
Oleh karena itu absenya Trump dalam kunjungan Israel menimbulkan spekulasi mengenai arah baru kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Israel terkait keputusan tersebut.
Akan tetapi beberapa analis menilai sikap Trump ini mencerminkan adanya perselisihan tak kasat mata maupun perbedaan prioritas dalam hubungan AS dan Israel belakangan.
Mereka menyebut bahwa Trump tampaknya ingin Timur Tengah beristirahat sejenak dari perang Israel dan Hamas selama lawatan bersejarah ke Teluk Arab.
Lantaran dalam lawatan ini Trump ingin fokus menekan kesepakatan strategis, termasuk kerja sama pertahanan bernilai miliaran dolar dengan Arab Saudi.
"Trump jelas bertekad untuk bergerak maju dengan agenda transaksional, perdagangan, dan investasi," kata mantan wakil petugas intelijen nasional AS untuk Timur Tengah, Jonathan Panikoff, seperti dikutip Reuters.
"Jika masalah politik atau keamanan tradisional yang selama ini selalu dikoordinasikan erat oleh AS dan Israel tidak sejalan dengan prioritas Trump, dia akan tetap melanjutkannya bagaimanapun juga," lanjutnya.
Absenya Trump ke Israel dinilai sebagai isyarat bahwa hubungan pribadi antara Trump dan Netanyahu tidak lagi hangat.
Bahkan beberapa waktu lalu pejabat pemerintahan Trump mengakui adanya kefrustrasian dalam menghadapi Israel, khususnya Netanyahu menyangkut konflik di Jalur Gaza.
Renggangnya hubungan keduanya semakin diperkuat usai Jurnalis koresponden media Israel Army Radio, Yanir Cozin mencuitkan komentarnya.
Dalam unggahannya di X ia menuturkan bahwa belakangan Presiden Trump memutus kontak langsung dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Adapun perselisihan keduanya dipicu karena perbedaan strategi dalam menghadapi ancaman Iran.
Netanyahu ingin menyerang langsung fasilitas nuklir Iran, sementara Trump lebih memilih jalan diplomasi dengan mencoba merundingkan kesepakatan baru untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir.
Menurut seorang pejabat AS, Trump menganggap serangan tersebut justru akan memperumit proses rekonstruksi dan memperpanjang konflik.
Sedangkan Netanyahu merasa tidak didukung karena Trump menghentikan kampanye militer terhadap kelompok Houthi yang didukung Iran.
Perbedaan pendapat antara kedua pemimpin mengenai strategi dan posisi utama telah menempatkan hubungan Trump dengan Netanyahu berada persimpangan jalan.
Meski tidak mengunjungi Israel, Trump menyebut bahwa upayanya di kawasan Teluk ditujukan untuk memperkuat posisi Israel melalui pendekatan regional yang lebih luas.
Pernyataan ini disampaikan saat Trump mengunjungi Riyadh dan Doha dalam rangkaian lawatannya ke kawasan Teluk
"Ini baik untuk Israel. Memiliki hubungan seperti yang saya miliki dengan negara-negara ini, negara-negara Timur Tengah, dan semuanya," ucap Trump dikutip dari The Times Of israel.
Trump juga menegaskan bahwa perang yang sedang berlangsung melawan Hamas di Gaza tetap menjadi bagian penting dari diskusi selama perjalanannya.
Lebih lanjut, ketika ditanya apakah Israel layak mendapat kredit atas pembebasan Alexander, Trump menjawab, "Mereka telah berjuang lama, mereka sedang berperang, dan saya pikir mereka layak mendapat banyak kredit."
Namun, ia menekankan bahwa timnya mungkin layak mendapat kredit terbesar. Menurutnya, tanpa campur tangan AS, "mungkin tidak ada satupun sandera yang masih hidup saat ini."
(Tribunnews.com / Namira)