Pengerahan Satuan Tempur (Satpur) dan Satuan Bantuan Tempur (Satbanpur) dari TNI untuk mendukung pengamanan Kejaksaan di seluruh Indonesia menuai polemik berkepanjangan di ruang publik.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengatakan pemerintah, TNI, dan Kejaksaan merespons resistensi publik dengan argumentasi yang substansinya tidak solid untuk succeeder melakukan pembenaran belaka atas pengamanan oleh TNI di lingkungan Kejaksaan.
“Dasar pembenaran dari pengerahan prajurit TNI untuk pengamanan Kejaksaan adalah nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Kejaksaan dengan TNI,” ujarnya dalam keterangan yang diterima, pada Jumat (16/5/2025).
Argumentasi yang menjadikan MoU sebagai dasar yuridis pengerahan TNI untuk pengamanan Kejaksaan jelas menghina kecerdasan publik.
Sebagian besar publik memahami betul bahwa konstitusi merupakan rujukan tertinggi dalam bernegara.
Pasal 30 Ayat (3) menegaskan bahwa TNI merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Dalam konteks pengamanan Kejaksaan oleh TNI tidak ada alasan obyektif yang membenarkan intrusi sangat dalam TNI ke Kejaksaan dalam bentuk pengamanan dengan yurisdiksi yang dibenarkan oleh hukum negara, baik Konstitusi atau peraturan perundangundangan di bawahnya, khususnya UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI.
“Dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah), maka MoU lah yang sebenarnya secara hukum salah dan bermasalah,” ujarnya.
Respons paling membingungkan justru datang dari Penasihat Khusus Presiden urusan Pertahanan Nasional, Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurachman, yang menegaskan dasar dari pengerahan prajurit TNI untuk pengamanan Kejaksaan bukanlah Perintah dari Presiden.
“Dengan fakta tersebut, jika benar demikian fakta sesungguhnya, Presiden mesti memerintahkan kepada Panglima TNI untuk menarik dan membatalkan ST Panglima TNI, seperti pembatalan Skep Panglima TNI tentang mutasi perwira tinggi TNI beberapa waktu yang lalu,” tuturnya.
Di sisi lain, Jaksa Agung ST Burhanuddin harus melakukan tinjau ulang (revisit) dan membatalkan MoU KejaksaanTNI dan/atau tidak menjadikan MoU tersebut sebagai dasar untuk menariknarik TNI ke dalam kelembagaan Kejaksaan yang merupakan institusi sipil dalam criminal justice system.
Apapun motif politik yang dimainkan oleh Jaksa Agung dan institusi Kejaksaan di balik MoU tersebut, kegenitan Kejaksaan untuk menariknarik militer ke dalam Institusi Kejaksaan, akan melemahkan supremasi sipil dan dalam jangka panjang akan berdampak secara institusional pada supremasi sipil.
“Kerusakan yang ditimbulkan akan semakin massif bila Kejaksaan melibatkan TNI dalam proses penggeledahan dan penyitaan, seperti yang disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung RI kepada media,” ujarnya.
Dalam konteks permasalahan ini, Komisi Kejaksaan (Komjak) seharusnya memberikan evaluasi dan rekomendasi pembatalan pengamanan Kejaksaan oleh TNI. Sangat disayangkan, sepanjang yang ditampilkan oleh Komjak sejauh ini bukannya bersikap kritis sebagai pengawas Kejaksaan, justru ikut bergenitgenit memberikan pembenaran atas pengerahan Satpur dan Satbanpur TNI untuk pengamanan Kejaksaan.