TRIBUNNEWS.COM - Seorang pengurus pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, merudapaksa delapan santriwatinya.
Pria berinisial RR tersebut kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Demikian yang diungkapkan Kasat Reskrim Polresta Bandung, Kompol Luthfi Olot Gigantara.
Kepada TribunJabar.id, Kompol Luthfi menuturkan tiga santriwati dirudapaksa oleh RR.
Sementara lima santriwati mendapatkan pelecehan seksual.
"Kami telah menetapkan seseorang laki-laki yang berumur 30 tahun dengan inisial RR sebagai pelaku atau tersangka dari kasus pencabulan dan atau persetubuhan," ujarnya.
Ia menuturkan, RR telah beraksi sejak 2023 lalu.
Luthfi mengatakan, tak menutup kemungkinan korban bisa bertambah.
Delapan korban tersebut berusia antara 15 hingga 18 tahun.
"Kedelapan korban tersebut usianya bervariasi, yang mana ada yang masih di bawah 18 tahun semua. Para korban ini antara 15 tahun sampai 18 tahun," ucapnya.
Atas perbuatannya, RR dijerat Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.
"Saat ini tersangka sudah kami lakukan penangkapan,"
"Dan hari ini, kami lakukan penahanan di rumah tahanan Polresta Bandung," ujarnya.
Sementara itu, ponpes lokasi RR melancarkan aksinya ternyata tak memiliki izin dari Kementerian Agama.
Agus Salman, Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Kabupaten Bandung mengonfirmasi hal tersebut.
"Jadi ilegal itu, soalnya yang mengeluarkan izin itu dari Kementerian Agama,"
"Makanya, itu disebut pesantren juga hanya mengaku saja. Belum tentu layak jadi pesantren, itu hanya klaimnya saja, sebagai pesantren," ucapnya kepada Tribun Jabar pada Kamis (15/5/2025).
Ia menuturkan, pemberian izin kepada ponpes harus melewati proses yang ketat.
"Kami dari Kemenag itu berpersepsi bahwa itu hanya oknum saja,"
"Karena kalau pesantren yang berizin, minimal ada pembinaan dari Kementerian Agama terus awasi,"
"Dan rata-rata yang terjadi kasus-kasus seperti itu, ya pesantren-pesantren yang tidak berizin," katanya.
Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung sudah turun ke lapangan terkait kasus ini.
Muhammad Hairun selaku Kepala DP2KBP3A mengatakan, ia telah melakukan pendekatan wilayah dan komunikasi dengan sejumlah tokoh.
"Kami juga sudah menerima laporan dari tim kuasa hukum korban dan segera melaksanakan penanganan serta pendampingan psikolog forensik. Kami punya psikolog yang memanggil para korban," ujar Hairun saat dikonfirmasi TribunJabar.id, Sabtu (17/5/2025).
Ia menuturkan, para korban akan mendapatkan pemulihan dan perlindungan hak.
"Anak-anak yang jadi korban ini usianya antara 14 tahun sampai 18 tahun, masih di bawah umur,"
"Jadi ketika pelaku sudah ditetapkan tersangka, kita langsung fokus ke pemulihan korban dan keluarganya."
"Karena ada juga keluarga yang syok, kaget, anaknya malah mengalami hal seperti ini," ucapnya.
(Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(TribunJabar.id, Adi Ramadhan Pratama)