Di Balik Label Malas Gen Z, Ada Potensi Hebat
GH News May 17, 2025 05:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa tahun terakhir, generasi Z—mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—kerap menjadi bahan diskusi di ruang-ruang kerja, seminar, hingga media sosial. Banyak pihak, terutama dari generasi yang lebih tua, kerap menganggap Gen Z sebagai generasi yang manja, minim etos kerja, gampang mengeluh, dan sulit diatur. Bahkan tak sedikit yang menyematkan label “generasi rebahan” kepada mereka. Narasi semacam ini tersebar luas, terutama ketika Gen Z mulai memasuki dunia kerja dan membawa cara pandang serta kebiasaan yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Namun benarkah semua anggapan negatif itu mutlak dan berlaku bagi seluruh Gen Z? Ataukah ini hanya cerminan dari gap antargenerasi yang tak kunjung dijembatani?

Generasi Z memang tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda. Mereka lahir dan besar di tengah kemajuan teknologi digital yang pesat. Sejak kecil, mereka sudah akrab dengan internet, gawai pintar, dan media sosial. Ini membuat Gen Z sangat melek teknologi, cepat menyerap informasi, dan memiliki fleksibilitas dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara yang tidak konvensional.

Jika generasi sebelumnya mengandalkan buku atau guru untuk belajar sesuatu, Gen Z cukup membuka YouTube atau TikTok dan mereka bisa mempelajari cara membuat konten, belajar coding, bahkan memahami filosofi hidup dalam bentuk video berdurasi satu menit. Mereka memiliki kecepatan akses informasi yang belum pernah dimiliki generasi manapun sebelumnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Salah satu kemampuan luar biasa yang sering tidak disadari dari Gen Z adalah cara mereka membaca tren sosial dan kultural di media. Mereka bukan sekadar pengguna media sosial—mereka adalah penggeraknya. Gen Z mampu menciptakan narasi, membentuk opini publik, bahkan mengguncang pasar hanya dengan kampanye digital yang mereka buat sendiri. Misalnya, banyak bisnis lokal dan UMKM yang viral bukan karena iklan konvensional, tetapi karena kekuatan komunitas Gen Z yang menyebarkannya melalui media sosial.

Selain itu, Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang lebih peka terhadap isu sosial. Mereka kritis terhadap isu-isu ketidakadilan, lingkungan, kesehatan mental, dan keberagaman. Mereka tidak segan menyuarakan opini mereka, bahkan berani menantang sistem atau budaya kerja yang dianggap tidak sehat. Bagi sebagian orang tua atau pemilik usaha dari generasi sebelumnya, sikap kritis ini dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Namun, bagi Gen Z, ini adalah bagian dari tanggung jawab moral dan keberanian untuk membangun dunia kerja yang lebih manusiawi.

Tak hanya itu, Gen Z juga sangat terbuka terhadap pembelajaran lintas bidang. Banyak dari mereka yang belajar secara autodidak—belajar desain grafis sambil mendalami digital marketing, atau belajar editing video sambil mengelola akun bisnis kecil-kecilan. Fleksibilitas ini menjadi kekuatan yang besar, terutama di era ekonomi digital saat ini.

Meski demikian, Gen Z memang memiliki tantangan tersendiri. Banyak dari mereka yang mengalami krisis identitas, tekanan sosial yang tinggi karena media sosial, hingga burnout akibat tuntutan produktivitas yang tidak sehat. Inilah pentingnya dukungan dari lingkungan—baik keluarga, tempat kerja, maupun pemerintah—untuk membantu Gen Z berkembang secara utuh, bukan dengan membandingkan mereka dengan generasi sebelumnya, melainkan dengan memahami keunikan zaman tempat mereka tumbuh.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sering kali kita terlalu terpaku pada standar lama mengenai etos kerja: datang pagi, pulang malam, patuh pada atasan, dan tidak banyak bertanya. Ketika Gen Z memilih bekerja fleksibel, lebih menghargai kesehatan mental, atau bekerja dari mana saja, kita langsung menilai mereka kurang tangguh. Padahal, mereka justru sedang menawarkan cara baru dalam memaknai kerja yang lebih berkelanjutan dan sehat secara psikologis.

Sudah saatnya kita berhenti menghakimi Gen Z sebagai generasi yang malas atau tidak punya etos kerja. Kita harus mulai melihat bahwa mereka memiliki modal besar untuk berkontribusi dalam berbagai sektor—teknologi, ekonomi kreatif, pendidikan, bahkan advokasi sosial. Mereka hanya butuh ruang untuk tumbuh sesuai karakter zaman, bukan dipaksa menjadi replika generasi sebelumnya.

Generasi Z bukan ancaman bagi dunia kerja. Mereka adalah harapan. Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, fleksibilitas, kreativitas, dan keberanian Gen Z justru menjadi kunci untuk menavigasi masa depan. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.