TIMESINDONESIA, JEMBER – Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab besar bagi pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama. Sebagai negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, Indonesia terus berupaya meningkatkan kualitas layanan haji.
Namun, dalam perjalanannya, sistem multi-syarikah atau konsorsium penyedia layanan haji yang diterapkan selama ini perlu dikaji ulang dengan lebih mendalam.
Perlu diketahui bahwa kebijakan transformasi layanan ibadah haji dari muassasah ke syarikah ini adalah kebijakan Kerajaan Saudi Arabia, yang efektif berlaku penuh semenjak musim haji tahun 2024.
Pada musim haji tahun 2024, pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama menetapkan 1 (satu) syarikah untuk melayani jemaah haji Indonesia, dengan mempertimbangkan berbagai potensi resiko, tantangan, dan berbagai aspek teknis operasional haji, baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi.
Tahun 2025 ini, pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama, menetapkan 8 (delapan) syarikah yang melayani jemaah haji Indonesia.
Sebagai sesama jamaah haji, saya banyak mendengar curhatan dari para karom (ketua rombongan) dan jamaah lain yang sudah lebih dulu diberangkatkan ke Mekkah dari Madinah. Alih-alih bisa fokus mempersiapkan diri secara spiritual, banyak dari mereka justru harus berkutat dengan kebingungan menghadapi sistem layanan yang rumit.
"Kami seperti bola ping-pong yang dipantulkan dari satu petugas ke petugas lain," keluh salah seorang karom dengan wajah lelah. Kisah serupa terdengar berulang kali, ini menandakan adanya masalah sistemik yang perlu segera diatasi.
Kemenag mesti mengevaluasi ketepatan penerapan sistem multi-syarikah ini. Dalam evaluasi tersebut, asas kemaslahatan jamaah harus didahulukan daripada kepentingan syarikah itu sendiri.
Betapa tidak, sistem yang seharusnya dirancang untuk memudahkan para jamaah justru kerap menimbulkan kebingungan dan ketidaknyamanan. Ketika tanggung jawab tersebar di antara berbagai penyedia layanan, seringkali yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab ketika masalah muncul.
Kompleksitas koordinasi antar penyedia layanan ini menciptakan celah-celah yang berpotensi menurunkan kualitas pelayanan. Jamaah yang sebagian besar berusia lanjut dan tidak terbiasa dengan sistem yang rumit, terpaksa harus beradaptasi dengan berbagai prosedur yang membingungkan. Bukankah seharusnya sistem yang beradaptasi dengan kebutuhan jamaah, bukan sebaliknya?
Dampak Nyata di Lapangan
Dampak nyata dari sistem multi-syarikah yang kurang terarah ini sungguh memprihatinkan. Di kloter kami, banyak pasangan suami-istri yang terpaksa terpisah hotel, padahal semangat awalnya adalah sang suami menjadi pendamping bagi istri selama perjalanan ibadah.
Belum lagi masalah pengelolaan barang; saat awal kedatangan, koper-koper jamaah tidak ditempatkan secara rapi sehingga banyak jamaah yang tidak menemukan barang bawaannya, bahkan hingga 2 hari lamanya.
Bayangkan betapa sulitnya beribadah dengan tenang ketika kebutuhan dasar seperti pakaian dan perlengkapan ibadah tidak tersedia karena masalah koordinasi yang seharusnya bisa dihindari.
Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya apa yang saya sebut sebagai "efek cobra" dari sistem multi-syarikah yang tidak matang. Bahkan sampai ada jamaah yang terpaksa menunda keberangkatan.
Seperti kasus pasangan kakek-nenek dengan kondisi fisik uzur di kloter 46 yang ternyata berbeda syarikah. Sementara anak-menantu yang seharusnya menjadi pendamping mereka berada di kloter 45.
Tanpa jaminan bisa satu hotel dan dengan pendamping yang tidak satu kloter, akhirnya melalui musyawarah keluarga yang difasilitasi KBIHU, pasangan lansia ini terpaksa menunda keberangkatan hingga tahun depan.
Kasus lain yang terjadi di lapangan, di SUB 4: terdapat 4 syarikah (MCD, RHL, RKN, RWF) dengan kondisi yang membingungkan. Yang datang hanya 6 bus MCD dan 3 bus RHL, sementara RKN hanya menyediakan 2 petugas kloter, dan RWF hanya 1 pembimbing KBIHU tanpa bus.
Kendala utama terjadi ketika pihak RHL sangat ketat dan tidak mau menerima jamaah di luar manifest, padahal masih ada jamaah RHL asli yang belum naik karena tidak masuk dalam manifest. Akibatnya, sudah 2 malam jamaah ditempatkan di hotel transit sektor 5, tapi masih nihil belum ada syarikah yang setiap hari memberangkatkan ke Mekkah.
Kondisi riil yang terjadi sungguh memprihatinkan: jamaah akhirnya tetap lanjut tawaf dan sa'i dengan dibimbing oleh jamaah sendiri tanpa ada pembimbing KBIHU, TPHI, dan TPIHI, dengan segala dinamika berbeda hotel, mahram terpisah, dan koper yang belum ditemukan.
Bagaimana mungkin pembimbing KBIHU dan Tim Kloter tidak bisa mendampingi jamaah karena kebijakan syarikah yang tentunya sangat merugikan?
Kasus lain yang tidak kalah mengganggu terjadi di Sub 12, di mana petugas medis dan pembimbing kloter berangkat jam 6 pagi bersama kloter Solo BTG, ketua kloter jam 6 pagi bersama Solo RKN, dan dokter jam 6 pagi bersama Daker RFD, meninggalkan jamaah yang check out setelah zuhur (jamaah baru berangkat jam 14.00 dengan MCD, RWF, RHL).
Dalam kasus lainnya, ada jamaah yang terpisah di rombongan penulis misalnya: Bu Sawanah kloter 31 terpisah dengan suaminya atas nama Wasis kloter 50 (RHL); Nur Subagyo rombongan 4 kloter 31 terpisah dengan istrinya atas nama In Hariyani kloter 50 (RHL); dan Agus Sumardianto rombongan 3 kloter 31 terpisah dengan orangtuanya atas nama Mindarlik kloter 50 (RHL).
Bahkan pemilik KBIHU di tempat penulis memasrahkan diri, juga terpisah suami dan isrinya di hotel yang berbeda.
Pengalaman serupa juga dialami oleh kloter 11 SUB. Pendorongan ke Mekkah yang berbasis syarikah menimbulkan kerumitan dalam pengelompokan. Informasi pendorongan tidak jelas bahkan mendadak—pada pukul 24.00 baru dapat informasi bahwa pukul 7 pagi harus check out, itu pun tanpa manifest bus.
Akibatnya, koper jamaah tergeletak tidak teratur dan tidak berada dalam bus yang dipakai berangkat. Setelah dikelompokkan berdasarkan syarikah, mereka terbagi menjadi 3 bus dalam 3 kloter (9, 10, dan 11).
Bayangan awalnya ketika sampai di Mekkah, hotel akan jadi satu dalam satu syarikah, tetapi ternyata rombongan mereka ditempatkan di 4 hotel berbeda. Yang lebih parah lagi, beberapa jamaah tidak terdaftar hotelnya dan harus menunggu berjam-jam dengan penuh kesabaran. Nasib koper pun tidak diketahui posisinya.
Simpulan sementara dari pengalaman ini adalah bahwa sistem berbasis syarikah, meskipun sudah dikelompokkan dari Indonesia atau dari Madinah, tidak berdampak signifikan—jamaah tetap tidak bisa satu hotel meskipun sudah dalam satu syarikah.
Perlu ditegaskan bahwa masalahnya bukan pada sistem syarikahnya per se, tetapi pada teknik pengelompokan jamaah berbasis syarikah yang tidak beres sejak penerbitan visa yang berefek keruwetan yang tidak terduga sebelumnya.
Jadi, kebijakan transformasi dari muassasah ke syarikah adalah otoritas Saudi, sementara penetapan berapa syarikah dan syarikah apa yang melayani jemaah haji Indonesia, sepenuhnya adalah otoritas pemerintah Indonesia.
Atas dinamika teknis operasional haji tahun 2025 ini, kementerian agama dan berbagai pihak terkait yang harus melakukan evaluasi, bukan justru menimpakan kesalahan ke pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dengan mengatakan, "akibat kebijakan syarikah Arab Saudi".
Reformasi sistem multi-syarikah mendesak untuk dilakukan dengan mengacu pada prinsip kemaslahatan jamaah. Kemenag perlu mempertimbangkan penerapan sistem yang lebih sederhana namun tetap efektif, seperti sistem satu pintu dengan diferensiasi layanan.
Dalam model ini, Kemenag berperan sebagai koordinator utama yang menetapkan standar layanan minimum, sementara syarikah dapat menawarkan layanan tambahan yang terstandarisasi.
Saya masih ingat percakapan dengan seorang petugas haji berpengalaman yang mengungkapkan keprihatinannya. "Setiap tahun kita melakukan evaluasi, tapi sepertinya kita terjebak dalam pola yang sama. Kita perlu keberanian untuk melakukan perubahan mendasar," ujarnya dengan nada penuh harap.
Ucapan ini menggugah kesadaran bahwa perubahan memang diperlukan, dan perubahan itu harus dimulai dari cara kita memandang penyelenggaraan haji—bukan sebagai proyek administratif, melainkan sebagai upaya memfasilitasi perjalanan spiritual yang bermakna.
Standarisasi layanan di semua lini menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Mustahil mengharapkan layanan prima jika setiap syarikah memiliki standar berbeda-beda. Kemenag harus menetapkan standar wajib yang berlaku secara universal, dari akomodasi, transportasi, konsumsi, hingga pembimbingan manasik.
Lebih dari itu, sistem pelaporan terpadu yang transparan akan memungkinkan jamaah mengetahui dengan jelas siapa yang bertanggung jawab atas setiap aspek layanan.
Persoalan pendampingan jamaah juga menjadi aspek penting yang perlu dibenahi. Dalam sistem yang ada sekarang, banyak jamaah yang merasa bingung harus mengadu ke siapa ketika menghadapi masalah.
Seharusnya, setiap jamaah memiliki pendamping tetap yang menjadi jembatan antara mereka dengan sistem yang lebih besar, sehingga permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.
Di era digital seperti sekarang, pemanfaatan teknologi bisa menjadi solusi efektif. Bayangkan betapa memudahkan jika jamaah memiliki aplikasi terpadu yang menyediakan semua informasi yang mereka butuhkan—mulai dari jadwal kegiatan, lokasi penting, kontak darurat, hingga layanan pengaduan.
Dengan teknologi, jamaah bisa melacak secara langsung layanan yang mereka terima dan melaporkan masalah tanpa harus bingung mencari petugas yang bertanggung jawab.
Seorang ketua kloter berkata kepada penulis, "Kita terlalu sibuk dengan urusan administrasi hingga lupa bahwa tujuan utama jamaah adalah beribadah dengan khusyuk." Ucapan ini mengingatkan kita bahwa segala upaya perbaikan sistem haji haruslah bermuara pada satu tujuan: memastikan jamaah dapat melaksanakan ibadah dengan tenang dan nyaman, tanpa terbebani urusan teknis yang rumit.
Program persiapan dan edukasi jamaah juga perlu ditingkatkan. Banyak kebingungan sebenarnya berakar dari ketidaktahuan. Jamaah perlu dibekali pemahaman yang jelas tentang sistem layanan yang akan mereka terima jauh sebelum keberangkatan, sehingga mereka lebih siap menghadapi berbagai situasi yang mungkin terjadi di tanah suci.
Evaluasi sistem multi-syarikah bukan sekadar formalitas administratif, melainkan kesempatan untuk melakukan introspeksi dan pembenahan mendasar. Kemenag harus berani mengambil langkah tegas jika diperlukan, dengan tetap melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses evaluasi dan perumusan sistem baru.
Transparansi dalam proses ini akan membangun kepercayaan dan memastikan bahwa solusi yang dihasilkan benar-benar menjawab permasalahan yang ada.
Pada akhirnya, keberhasilan penyelenggaraan haji tidak diukur dari seberapa canggih sistemnya, melainkan dari seberapa khusyuk jamaah bisa beribadah. Jika kita sungguh-sungguh mengedepankan asas kemaslahatan jamaah, kita tidak bisa lagi mempertahankan sistem yang membingungkan dan tidak efisien.
Saatnya Kemenag mengambil langkah tegas dengan dua prioritas utama: pertama, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi sistem multi-syarikah yang sedang berjalan; dan kedua, merancang standarisasi layanan yang ketat dengan mekanisme pengawasan yang efektif.
Tanpa adanya reformasi sistem yang menyeluruh, kita akan terus menyaksikan jamaah yang tertunduk kecewa, bukan karena kekhusyukan dalam beribadah, melainkan karena beban sistem yang tidak berpihak pada mereka. Kemaslahatan jamaah bukan sekadar slogan, melainkan komitmen yang harus diwujudkan dalam setiap aspek penyelenggaraan ibadah haji.
***
*) Oleh : Muhammad Fauzinuddin Faiz, Dosen UIN KHAS Jember & Calon Jamaah Haji 2025.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.