Kisah Tirakat KH Hasyim Mino Probolinggo: Mon Tak Kellar, Keng Tak Terro
GH News May 18, 2025 07:04 PM

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Kisah KH Hasyim Mino Probolinggo, Jatim dipenuhi dengan khidmah, juga tirakat. Pendiri Ponpes Nurul Qodim, Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo itu begitu total dalam berkhidmat (mengabdi) pada guru, dan tekun dalam tirakat.

Salah satu tirakat yang dijalani KH Hasyim Mino adalah berpuasa dengan hanya sahur dan berbuka dengan sebuah pisang dan segelas air.

Setengahnya untuk berbuka dan setengahnya lagi untuk sahur. Demikian juga air minumnya. Setengah gelas untuk berbuka dan setengah gelas untuk sahur selama setengah tahun.

Semua itu dilakukan atas anjuran dan restu KH Moh. Hasan atau yang dikenal sebagai KH Hasan Sepuh Genggong, Pengasuh Ponpes Zainul Hasan Genggong kala itu, yang dikenal dengan kewaliannya.

Haul-ke-38-KH-Hasyim-Mino-B.jpgSuasana Haul ke-38 KH Hasyim Mino, pendiri Ponpes Nurul Qodim Probolinggo (Foto: Cuplikan layar)

Kisah tirakat tak biasa ini, ditulis salah satu alumni Ponpes Nurul Qodim asal Bondowoso, Musolli.

Konon, setelah memberitahukan maksud tapa baratanya pada istri tercintanya, Nyai Mariam, Kiai Hasyim Mino mulai berpuasa dengan niat yang tulus dan tekad yang kuat.

Sampaikan kapankah tapa brata itu berhenti?

Tak ada batas waktu yang jelas. Kiai Moh Hasan hanya berpesan, puasanya boleh berhenti bila sudah didatangi seseorang dengan ciri-ciri yang disebutkan secara gamblang oleh beliau.

Sehari, dua hari dan seminggu berpuasa, badan masih terasa sehat dan kuat. Walau berpuasa, Kiai Mino tetap melakukan kewajiban sebagai suami: mencari nafkah, meski tubuhnya tak sekuat sebelumnya.

Asupan makanan dan minuman yang sangat terbatas, memaksa tubuhnya juga mulai melemah.

Sebulan berpuasa hingga 41 hari, tamu yang dimaksud oleh KH Hasan Sepuh Genggong tak juga datang. Bahkan sampai pada angka 60 hari, tamu yang begitu diharap kedatangannya juga belum tiba.

Dengan tabah dan telaten, Nyai Mariam terus memberi semangat pada Kiai Mino agar tegar, dan kuat hingga tamu yang dimaksud datang berkunjung. Meski sebenarnya, Nyai Mariam sangat iba dan prihatin melihat kondisi suaminya yang semakin hari semakin melemah.

Hingga hitungan 90 hari, 111 hari bahkan sampai enam bulan atau 180 hari, orang yang menjadi penentu apakah puasanya berlanjut atau tidak, belum juga datang menjenguk dan menyapanya.

Kiai Mino tetap kekeh dan teguh untuk terus berpuasa seperti yang diperintahkan oleh gurunya. Ia punya prinsip: Moon tak kellar keng tak terro (kalau tidak kuat, berarti tidak ingin).

“Itulah prinsip dan spirit yang terus dipegang erat oleh beliau bahkan itu menjadi worldview dalam melakoni takdir hidupnya,” tulis Musolli, salah satu alumni Ponpes Nurul Qodim asal Bondowoso.

Masih menurut Musolli, berdasarkan penuturan Kiai Hasan Abdul Jalal, putra Kiai Mino, setelah enam bulan berpuasa, tiba-tiba ada orang panggil salam pada Kiai Mino pada suatu malam yang sunyi.

Waktu itu menujukkan pukul 02.00. Dini hari.

Kiai Mino yang kondisi tubuhnya sudah sangat lemah, hanya bisa  menjawab dengan suara lirih. Lalu dengan tertatih-tatih, ia berjalan menuju ruangan depan untuk membuka pintu, menyambut sang tamu.

Setelah pintu dibuka, Kiai Mino mempersilahkan tamu masuk. Lampu templok yang ada di ruangan tersebut, ternyata tidak cukup untuk mengenali sang tamu. Kecuali dilihat dari dekat.

Namun terlihat jelas, sang tamu membawa sesuatu yang dibungkus dengan kantong.

Begitu tamu duduk , barulah Kiai Mino sadar bahwa sang tamu sama dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh gurunya, Kiai Moh. Hasan.

Setelah tamu pulang, Kiai Mino membuka isi kantong tersebut. Beliau sangat kaget karena isi kantong tersebut adalah uang.

Kiai Mino dan Totalitas Pengabdian pada Sang Guru

Masih menurut cerita Kiai Hasan Abdul Jalal, putra kedua dari pasangan Kiai Mino dan Ny Hj. Siti Mariam, Kiai Mino membelanjakan semua uang yang ada dalam kantong tersebut. Tanpa tersisa sepersen pun.

Dari sekantong uang pemberian orang misterius tersebut, Kiai Mino berbelanja hingga barang belanjaannya mencapai dua dokar penuh. Semua barang tersebut dibawa ke Genggong, dipersembahkan pada sang guru, Kiai Moh. Hasan.

Tak satu pun ditinggal untuk dirinya atau keluarganya. Padahal waktu itu, Kiai Hasyim Mino juga hidup dalam kekurangan, bahkan terbilang miskin.

Ketika ditanya mengapa barang dua dokar tersebut dibawa semua ke Ponpes Zainul Hasan Genggong, dipersembahkan pada gurunya?

Dengan santai beliau menjawab. "Uang itu bukan milikku, tapi punya guruku." Terasa tak ada beban kehilangan uang sebanyak itu.

Kiai Hasyim Mino dan Tarekat

Mudir ‘Ali Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN), KH Ali Masykur Musa bercerita tentang ikatan sejarah antara organisasi yang dipimpinnya, dengan Ponpes Nurul Qodim yang didirikan KH Hasyim Mino.

Cerita itu ia sampaikan saat menghadiri Tabligh Akbar yang digelar dalam rangka Haul ke-38 KH Hasyim Mino di Ponpes Nurul Qodim, Kamis (15/5/2025) malam.

Dulu, badan otonom Nahdlatul Ulama atau NU yang berfokus pada penerapan ajaran tarekat itu hanya Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah. Tak ada kata “An-Nahdliyah” di sana.

Kata “An-Nahdliyah” disematkan dalam organisasi tarekat ini, saat pertemuan di Ponpes Nurul Qodim, tahun 1979. Karena alasan tersebut, sebagai mudir ‘Ali JATMAN, Ali Masykur merasa wajib menghadiri haul KH Hasyim Mino.

“Kalau tidak hadir di sini, saya merasa bisa kualat,” kata KH Ali Masykur Musa.(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.