TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Yogi Fajri tak menyangka penelusurannya terhadap sejarah stadion Diponegoro membawanya ke sebuah temu penting.
Pemerhati sejarah Kota Semarang itu pada tahun 2023 tengah asyik mengulik arsip De Locomotief koran berbahasa Belanda yang terbit pada masa kolonial.
Saat dia menemukan sepotong narasi yang menggugah pada 11 Agustus 1930, koran tersebut memuat berita tentang pendirian sebuah organisasi sepak bola bumiputera di Semarang.
Tempatnya bukan di stadion megah, bukan pula di lapangan besar. Melainkan di rumah dinas seorang dokter hewan pemerintah kotapraja, yang namanya lebih dikenal sebagai pengarang novel legendaris Siti Nurbaya, dr. Marah Roesli.
"Ini menarik karena sebelumnya orang mengenal PSIS didirikan tahun 1932, padahal jejaknya sudah muncul sejak 1930," kata Yogi saat dihubungi Tribunjateng, (18/5/2025).
Dalam berita itu disebutkan bahwa di kediaman dr. Marah Roesli yang juga menjadi markas Penjoeloeh Semarang, organisasi pendidikan bentukan Budi Utomo telah diselenggarakan rapat pembentukan klub sepak bola bumiputera.
Dari rapat itu lahirlah Persatoean Sepakraga Indonesia Semarang (PSIS) dengan dr. Marzoeki Mahdi sebagai ketua.
Rumah tersebut berada di kawasan Semarangsche Slachthuis pada kawasan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang kala itu disebut sebagai salah satu fasilitas paling modern di Asia Tenggara.
Kini, kawasan itu dikenal sebagai Jalan Banteng, tak jauh dari Lotte Mart yang berdiri di atas bekas kompleks RPH yang telah dibongkar pada 1995.
Rumah dinas dr. Marah Roesli pun telah sirna, hanya menyisakan kenangan dalam catatan sejarah.
Yang menarik, nama PSIS sendiri baru digunakan beberapa bulan setelah pembentukan awal.
Sebelumnya, klub ini sempat menggunakan nama berbahasa Belanda: Voetbalbond Indonesia Semarang (VIS).
Penggunaan istilah “sepakraga” dalam nama resminya kemudian menunjukkan semangat nasionalisme dan pencarian identitas dalam dunia olahraga.
Selain Marah Roesli dan Marzoeki Mahdi, sejumlah dokter lain juga terlibat dalam pendirian PSIS.
Mereka semua tergabung dalam kelompok belajar Penjoeloeh Semarang, yang berafiliasi dengan Budi Utomo.
"Dalam pemberitaan lanjutan De Locomotief pada 6 Agustus 1938, disebutkan bahwa PSIS merayakan ulang tahunnya yang kedelapan. Acara digelar di Gedung Kesenian Sobokartti di Karreweg (kini Jalan Dr. Cipto), dan dihadiri perwakilan dari berbagai klub sepak bola bumiputera. Ketua PSIS saat itu, Mr. Moenadi, menyampaikan pidato tentang perjuangan klub tersebut dari tahun ke tahun," jelasnya.
Jejak sejarah ini menegaskan bahwa PSIS bukan sekadar klub sepak bola, melainkan simbol perlawanan kultural dan etnis terhadap dominasi klub-klub sepak bola kolonial yang saat itu sudah berdiri terlebih dahulu seperti SVB (Semarangsche Voetbalbond) milik komunitas Belanda dan Union dari komunitas Tionghoa.
Menariknya, bahkan pada 24 Agustus 1960, PSIS masih memperingati ulang tahunnya yang ke-30 mengacu pada tahun pendiriannya pada 24 Agustus 1930, dimana tercatat dalam buku Lustrum ke-VI.
Seperti yang diketahui saat ini PSIS lahir pada 18 Mei 1932.
Terjadi pergeseran tanggal ulang tahun, menurut Yogi dimungkinkan saat pergantian nama dari VIS ke PSIS baru terjadi pada 1932, dan sejak itu tanggal tersebut dipakai secara administratif.
Namun jejak sejarah tak bisa dibohongi. Korannya ada, tanggalnya jelas.
Dan tokoh yang menggagasnya pun tak main-main seorang sastrawan besar sekaligus intelektual bumiputera pada masa kolonial.
"Banyak orang mengenal dr. Marah Roesli sebagai pengarang Siti Nurbaya. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia juga penggagas klub sepak bola tertua di Semarang," paparnya.
Kini, PSIS adalah klub profesional. Dengan basis pendukung seperti Panser Biru dan Snex, klub ini telah menjelma menjadi simbol kebanggaan warga Semarang.
Tapi sedikit yang tahu bahwa akar sejarahnya tertanam di sebuah kawasan sunyi di timur Kota Semarang, yang saat ini jadi centra penggilingan bakso, dahulunya merupakan bekas kompleks pemotongan hewan, tempat seorang dokter hewan dan para sahabatnya menyalakan obor perlawanan lewat olahraga.
Sayangnya, jejak fisik tempat bersejarah itu kini telah hilang. Kawasan Jalan Banteng, Pandean Lamper Gayamsari, yang dulu menjadi kompleks rumah dinas pegawai RPH itu, kini telah berubah.
Rumah pemotongan hewan modern yang dulu berdiri dibongkar pada tahun 1995.
Di atasnya kini berdiri pusat perbelanjaan Lotte Mart.
Rumah dinas dr. Marah Roesli pun sudah lama sirna, tergantikan bangunan baru yang tak menyisakan jejak arsitektur masa lalu. (Rad)