Gus Nasrul Gagas Fikih Lalu Lintas dan Fikih Medsos di Masjid Istiqlal
raka f pujangga May 18, 2025 10:30 PM

TRIBUNJATENG.COM - Pakar Maqashid Syariah Indonesia, Prof DR KH Nasrulloh Afandi, Lc, MA, yang akrab disapa Gus Nasrul, menggagas fikih lalu lintas jalan fasilitas umum dan fikih Medsos, dengan metode menerapkan hadits Nabi di tengah kehidupan modern.

Dalam kajian tematik rutin, bernama Kajian Qabla Jum’ah / Jelang Sholat Jumah, diikuti puluhan ribu jemaah salat jumat, dengan tema "Implementasi Hadits, Nabi konteks keimanan dalam Kehidupan Modern" di ruang utama Masjid Istiqlal Jakarta (16 /5/2025).

Mengawali kajianya, pengantar menerapkan hadits Nabi di tengah masyarakat modern, Gus Nasrul, mengutif hadits yang artinya :Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda,“Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapakan ‘Laa ilaha illallaah’, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu merupakan sebagian dari iman.” (HR. Muslim)

"Inti terjemahannya hadits demikian itu, tetapi, dari uraian hadits di atas, ada beberapa  intisari  yang perlu dikaji dan fahami secara mendalam, untuk diterapkan dalam kehidupan modern," tutur Gus Nasrul yang juga wakil ketua komisi kerukunan antar ummat beragama MUI pusat itu.

Hal yang paling banyak di bahas oleh Gus Nasrul, dari inti hadits tersebut, yaitu tentang menggangu jalan fasilitas umum.

Ia menjabarkan, inti imathotul adza anit- Thoriq ( menjauhkan gangguan dari jalan fasilitas umum) dengan mengutip pendapat para ulama terkemuka, seperti Imam al-Manawi, Imam ash- Shon’ani, bahwa yang dimaksud al-ada fitthoriq, adalah setiap hal, sikap ucapan, tindakan,  yang mengganggu di jalan umum, seperti batu atau benda-benda lainnya," tutur Gus Nasrul yang juga ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru NU itu.

Sedangkan para kiyai, ulama terdahulu, saat mengaji kitab kuning, referensi klasik, di berbagai pondok pesantren mayoritas mengartikan kalimat Imatathul ada anit-thoriq, adalah menjauhkan duri dari jalan.

"Karena pada masa dahulu hal yang paling mengganggu di jalan desa-desa, adalah duri pepohonan, apalagi dikala itu masih banyak orang yang keluar rumah tanpa alas kaki. Dan masih langka ada kendaraan bermesin," tutur Pengasuh Pesantren Balekambang Jepara Jateng tersebut.

Dalam kajian Maqashid syariah, Imam Asy-Syatibi, Grand Syeh Maqashid Syariah dalam karya fenomenalnya, kitab al-Muwafaqoth, menegaskan, bahwa substansi maqashid Syariah, adalah “Taqdimu Maslaha al- ‘ammah”(Mendahulukan kepentingan yang lebih luas) Tutur Doktor Maqashid Syariah Summa Cum Laude jebolan universitas al-Qurawiyin Maroko itu.

Ingat, jaman Nabi Muhammad SAW bersabda, dulu belum ada kendaraan bermesin, belum ada mobil, belum ada motor di jalanan umum.

Kendaraanya pada masa itu, unta, kuda, keledai. 

"Nah, di era modern ini, penerapan dari imathotul adza anitthoriq(Menyingkirkan gangguan  dari jalan) Sungguh sangatlah banyak macamnya dan luas cakupannya," tutur Gus Nasrul.

Contohnya? Banyak para pengemudi yang ugal-ugalan, atau balapan liar anak-anak muda di jalan raya, knalpot brong yang membisingkan, banyak juga karnaval segerombolan moge atau motor gede yang kerap merasa punya hak lebih sesama pengguna jalan.

Klakson atau tuter bus atau truk yang sangat keras, menggangu para pengguna jalan lain,  melebihi ketentuan.

Contoh lainnya? Di daerah-daerah, banyak orang punya hajatan keluarga, acara pernikahan dan sejenisnya, menutup jalan fasilitas umum, sehingga maslahat umum terganggu oleh maslahat(Keperluan pribadi / Keluarga) itu melanggra agama.

Hal-hal di atas semua merupakan bagian kecil dari al-Ada Fi Thoriq, gangguan di jalan fasilitas umum.

Gus Nasrul juga menegaskan, bahwa para polisi yang melaksanakan tugasnya dibarengi keikhlasan mengabdi pada bangsa dan negara, mengharap ridho Alloh swt,  untuk mengatur ketertiban lalu lintas, adalah bagian dari ibadah, karena para polisi lalu lintas, sangat berperan penting dalam menjauhkan al-ada Fitthoriq (Gangguang di jalan)

Adapun point lain yang dibahas oleh Gus Nasrul, inti dari hadits di atas, adalah urgensi mengucapkan “Lai ilaha Ilalloh”. Ingat ! Kata Gus Nasrul, disini adalah ucapan atau (Qaulun) Dan bukan tulisan (Kitabatun). Karena ucapan Lailaha Illalah itu akan membekas dalam pikiran, juga dalam hati yang mengucapkannya.  Tegas Gus Nasrul yang juga juga aktif ceramah di berbagai pengajian umum tersebut.

Hal itu, sesuai pendapat mayoritas ulama, diantaranya, imam Al-Jurjani, dalam kitabnya at- Ta’rifat, bahwa : Keimanan adalah, membenarkan dengan hati, dan mengungkapkan dengan lisan. Tutur Gus Nasrul yang alumnus Pesantren Sarang Rembang itu.

Lantas bagaimana di era medsos ini, banyak orang yang sibuk menghiasi layar-layar medsos, dengan tulisan lailaha Illalloh?  Tentu beda halnya, jika hanya sebatas tulisan dilakukan oleh orang-orang yang sibuk menulis kalimat  lailaha Illalloh, di layar-layar medsos, atau tulisan-tulisan di hiasan dinding, atau sticker di kaca-kaca mobil. Maka itu bukan termasuk implementasi hadits ini. Tegas ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru NU itu.

Apalagi, jika hanya untuk mencari liker, follower, berburu cuan, atau pun demi penggemar, jelas penulisan kalimat tauhid Lailaha illaloh, dengan faktor semacam itu, bukanlah bagian dari implementasi hadits ini. Karena tidak terpenuhinya unsur-unsur keimanan.

Esensi lainnya, urai Gus Nasrul, dari hadits di atas adalah:  al-hayau minal iman (Rasa Malu adalah bagian dari Iman) Esensi texs hadits tersebut, ada dua, yaitu, Pertama: Rasa malu pada Alloh(Dengan mentaati perintahnya)  Kedua: Malu dengan sesama manusia, ketika melakukan hal-hal bertentangan dengan etika dan  norma sosial. Yang pernah kami sampaikan dalam khutbah Jumat di hadapan ribuan mahasiswa UNNES(Universitas Negeri Semarang) bertema : Indonesia darurat rasa malu (Semarang 2 Mei 2025) Bisa dilihat arsip tulisan berita media, di internet. Tutur Gus Nasrul yang juga Mudir(ketua) Perguruan Tinggi Ma’had Aly Balekambang Jepara, Prodi Hadits itu.

Untuk pengantar wawasan, Gus Nasrul, di awal kajian memaparkan, perspektif ushul fikih, setelah al-Qur’an, hadits adalah sumber kedua syariat Islam. 

Ia pun menjelaskan, mengkaji tentang hadits Nabi, di era digital ini, membuat kita membayangkan, andai jaman Nabi Muhammad sudah ada internet, tentu akan ada ribuan hadits palsu, hoaks yang disebarkan orang-orang yang memusuhi perjuangan Nabi Muhammad SAW, memusuhi Islam kala itu.  

"Faktanya, saat itu belum ada internet saja, terdapat sangat banyak hadits palsu ucapan orang-orang yang tidak jelas, teatapi diatas namakan sabda Nabi," tutup Gus Nasrul. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.