Paus Leo XIV dan Kecerdasan Buatan: Etika Iman di Era Digital
Eko Sutriyanto May 19, 2025 08:37 PM

Oleh: Stepanus Silaban,  alumni Fakultas Teologi Weda Bhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

TRIBUNNERS - Dalam pidato perdananya kepada para Kardinal pada 10 Mei 2025, Paus Leo XIV langsung menempatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai tantangan besar bagi umat manusia.

Ia menegaskan bahwa AI bukan hanya isu teknis atau ilmiah, melainkan masalah moral yang dalam karena menyangkut martabat manusia, keadilan sosial, dan masa depan dunia kerja. Pernyataan ini bukanlah sekadar pendapat pribadi seorang Paus baru—melainkan seruan profetik yang mempertajam arah moral Gereja Katolik di tengah revolusi digital global yang semakin masif.

Pilihan nama “Leo” yang diambil Paus Leo XIV juga bukan tanpa pesan. Nama “Leo” merujuk pada Paus Leo XIII, yang lebih dari satu abad lalu menerbitkan ensiklik Rerum Novarum untuk membela hak-hak buruh di tengah Revolusi Industri.

Kini, Paus Leo XIV menghadapi "revolusi" baru—yakni revolusi algoritma dan automasi yang menuntut kehadiran moral dan spiritual Gereja di ruang-ruang digital.

Dalam konteks ini, kepemimpinan moral dan etis menjadi semakin penting, tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi komunitas global yang tengah mencari arah di tengah kemajuan teknologi yang begitu cepat.

Sebagai pemimpin spiritual, Paus Leo XIV mengambil posisi unik di tengah polarisasi diskursus global tentang teknologi. Di satu sisi, dunia menyambut AI sebagai puncak peradaban digital, namun di sisi lain muncul kecemasan akan dampaknya terhadap pekerjaan, kehidupan sosial, dan bahkan eksistensi manusia itu sendiri.

Paus Leo XIV tidak menolak kemajuan, tetapi mengingatkan bahwa teknologi bukanlah netral secara moral. Apa pun bentuk kecanggihannya, teknologi tetap tunduk pada nilai-nilai etis yang berasal dari kemanusiaan dan iman.

Menggemakan Kembali Antiqua et Nova

Pandangan Paus Leo XIV di atas menggemakan kembali dokumen resmi Vatikan berjudul Antiqua et Nova: Note on the Relationship Between Artificial Intelligence and Human Intelligence, yang diterbitkan pada 28 Januari 2025.

Dokumen ini merupakan refleksi mendalam Gereja Katolik atas perkembangan pesat kecerdasan buatan. Di dalamnya, ditegaskan bahwa AI bukanlah entitas cerdas dalam pengertian manusiawi, melainkan produk teknis dari kemampuan rasional manusia.

Oleh karena itu, AI tidak memiliki kehendak, kesadaran moral, atau relasi spiritual, dan karena itu tidak boleh diperlakukan seolah-olah setara dengan manusia. Gereja memandang bahwa segala bentuk inovasi teknologi, termasuk AI, harus ditempatkan dalam kerangka etika yang berpusat pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Salah satu kekuatan utama dari Antiqua et Nova adalah penegasannya terhadap prinsip-prinsip etika Kristiani (Katolik): martabat pribadi, keadilan sosial, tanggung jawab manusia, dan solidaritas global.

AI harus digunakan untuk melayani manusia, bukan mengendalikannya. Pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan seseorang tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mesin tanpa pengawasan dan akuntabilitas manusia. Gereja menolak logika teknokratis yang hanya mengandalkan efisiensi dan produktivitas, tetapi mengabaikan nilai-nilai moral dan relasi kemanusiaan.

Dalam semangat tersebut, Antiqua et Nova menekankan bahwa AI seharusnya mendukung kesejahteraan bersama (bonum commune) dan bukan alat untuk eksploitasi ekonomi atau dominasi politik.

Teknologi harus membebaskan, bukan membelenggu. Oleh sebab itu, penting untuk meninjau ulang bagaimana industri teknologi bekerja, bagaimana sistem pendidikan membentuk etika digital, dan bagaimana kebijakan publik dapat melindungi yang lemah dari penyalahgunaan teknologi. Gereja mendorong keterlibatan semua pihak, baik negara, swasta, maupun masyarakat sipil, dalam mengatur dan mengarahkan perkembangan AI agar berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan yang adil.

Dokumen ini juga memberikan panduan praktis di berbagai sektor: dalam dunia kerja, AI harus menjadi pelengkap, bukan pengganti manusia; di bidang pendidikan, AI dapat mendukung proses belajar, tetapi tidak menggantikan peran guru sebagai pembentuk karakter dan nilai.

Dalam layanan kesehatan, AI bisa mempercepat diagnosis dan akses pengobatan, namun tidak dapat menggantikan kehadiran empatik dan relasional tenaga medis. Bahkan dalam dunia seni, politik, dan media, Antiqua et Nova mendorong agar teknologi digunakan untuk memperkuat keindahan dan kebenaran, bukan sekadar menciptakan simulasi palsu atau manipulasi opini publik.

Lebih jauh, dokumen ini memberikan alarm atas penggunaan AI dalam bidang pertahanan, khususnya senjata otonom (lethal autonomous weapons systems/LAWS) yang beroperasi tanpa kendali manusia langsung.

Gereja menegaskan bahwa tidak ada justifikasi moral bagi mesin yang memiliki kewenangan untuk menentukan hidup dan mati. Penggunaan AI di sektor ini bertentangan dengan prinsip martabat manusia dan ancaman nyata terhadap perdamaian global. Oleh karena itu, Gereja mendorong regulasi internasional yang tegas dan menyeluruh dalam mengatur teknologi semacam ini.

Secara keseluruhan, Antiqua et Nova menegaskan bahwa AI harus dikembangkan dan digunakan dalam semangat “kearifan hati” (sapientia cordis)—yakni kebijaksanaan yang tidak hanya berasal dari rasio teknis, tetapi juga dari nilai-nilai rohani, keadilan, dan kasih.

Teknologi hanyalah alat; manusialah yang bertanggung jawab menentukan arah dan tujuan penggunaannya. Dengan panduan ini, Gereja mengajak semua pihak—ilmuwan, pemerintah, perusahaan, hingga umat beriman—untuk bersama-sama membangun dunia digital yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat.

Tantangan Realitas Dunia Kontemporer

Pernyataan Paus Leo XIV dan doktrin Antiqua et Nova terasa semakin relevan di tengah realitas dunia yang semakin bergantung pada AI.

Kita menyaksikan pesatnya otomatisasi kerja yang mengancam jutaan lapangan pekerjaan; penyebaran informasi palsu oleh algoritma yang tak terkendali; eksploitasi data pribadi demi keuntungan ekonomi; serta berkembangnya senjata otonom yang beroperasi tanpa kendali manusia. Di tengah disrupsi teknologi ini, muncul pertanyaan krusial: ke mana arah kemajuan akan membawa kita, dan siapa yang akan menjaga nilai-nilai dasarnya?

Realitas ini diperparah dengan minimnya regulasi etis global yang kuat. Sementara perusahaan teknologi berlomba menciptakan sistem AI yang lebih cepat dan lebih canggih, publik sering kali tertinggal dalam hal pemahaman kritis maupun perlindungan.

Tantangan tersebut tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial, budaya, bahkan spiritual. Bagaimana manusia dapat tetap menjadi subjek yang aktif, bukan objek yang dikendalikan oleh logika algoritma?

Dalam situasi ini, suara moral menjadi kebutuhan mendesak. Gereja, melalui kepemimpinan Paus Leo XIV, tampil sebagai suara kenabian yang mengingatkan bahwa teknologi harus dikendalikan oleh kearifan hati.

Seruan ini bukan seruan ketakutan, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab secara etis. Di tengah dunia yang menuhankan efisiensi, Paus mengingatkan bahwa kemajuan sejati adalah yang menghormati manusia, bukan mengorbankannya demi kecanggihan.

Menuju Etika Baru di Era AI

Paus Leo XIV memberi arah bahwa Gereja tidak akan tinggal diam dalam menghadapi perubahan zaman. Justru dalam era inilah, iman harus menjelma menjadi prinsip etis yang hidup—yang menuntun masyarakat untuk tidak kehilangan arah di tengah kemajuan teknologi.

Antiqua et Nova memberi fondasi yang kokoh, namun dibutuhkan keberanian pastoral untuk menerjemahkannya dalam kebijakan publik, pendidikan, bisnis, dan kehidupan sehari-hari.

Etika baru ini bukan semata-mata tentang peraturan, melainkan tentang membangun budaya digital yang manusiawi.

Dalam hal ini, orang muda memiliki peran strategis. Mereka adalah generasi digital native yang hidup di tengah kecanggihan AI, namun juga seringkali mengalami krisis identitas dan kelelahan mental akibat tekanan algoritma sosial media. Gereja perlu hadir tidak hanya sebagai pengingat moral, tetapi juga sebagai sahabat spiritual yang mendampingi generasi muda dalam dunia digital yang bising dan penuh distraksi.

Dengan menggandeng orang muda, para ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil, Paus Leo XIV mengajak dunia membentuk ekosistem digital yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.

Inilah panggilan Gereja di era AI: bukan untuk menolak teknologi, tetapi untuk menarahkannya menuju kebaikan bersama.

Dalam hal ini, posisi Gereja bukanlah nostalgia terhadap masa lalu, melainkan komitmen penuh terhadap masa depan yang lebih etis dan berakar pada nilai kemanusiaan. Gereja tidak bicara sebagai teknolog, tetapi sebagai penjaga nurani publik yang tak boleh diam membisu.

Langkah Paus Leo XIV dalam mengangkat isu AI secara langsung pada awal masa kepemimpinannya bukan hanya simbolik, tetapi strategis.

Ia menyadari bahwa tantangan masa depan bukan lagi semata tentang geopolitik atau ekonomi global, tetapi bagaimana umat manusia mengelola ciptaannya sendiri.

Di sinilah letak relevansi Gereja Katolik—bukan hanya sebagai pewarta iman, tetapi juga sebagai penuntun moral bagi dunia yang sedang bertransformasi secara radikal.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.