TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan dengan wacana Deddy Mulyadi, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, yang mengusulkan kebijakan kontroversial: memasukkan anak-anak nakal, khususnya yang sering terlibat tawuran, ke dalam barak militer untuk didisiplinkan. Ide ini muncul sebagai respons atas maraknya aksi kekerasan pelajar di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, yang seolah tak kunjung menemui solusi tuntas. Pemerintah daerah maupun pusat selama ini dinilai lamban dalam menangani persoalan ini, sehingga wajar jika muncul gagasan-gagasan di luar kebiasaan, meskipun menuai pro dan kontra.
Latar belakang kemunculan kebijakan ini tidak lepas dari fenomena tawuran pelajar yang telah menjadi masalah kronis. Setiap tahun, media kerap memberitakan kasus remaja tewas atau luka-luka akibat bentrok antar-sekolah. Ironisnya, hukuman yang diberikan kepada pelaku seringkali tidak membuat jera. Sekolah hanya memberi sanksi administratif, sementara penanganan hukum melalui proses peradilan anak dianggap terlalu ringan dan tidak memberikan efek rehabilitasi yang berarti.
Di sisi lain, lingkungan keluarga dan masyarakat kerap gagal menjadi benteng moral, sehingga banyak anak terjerumus dalam budaya kekerasan. Dalam kondisi seperti ini, wacana Deddy Mulyadi hadir sebagai shock therapy—sebuah langkah drastis yang bertujuan memutus mata rantai kenakalan remaja dengan pendekatan disiplin ala militer.
Namun, seperti kebanyakan kebijakan yang kontroversial, usulan ini memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, banyak pihak mendukung dengan alasan bahwa anak-anak nakal butuh penanganan tegas. Mereka berargumen bahwa lingkungan militer dapat membentuk karakter disiplin, tanggung jawab, dan rasa hormat pada aturan.
Pengalaman di beberapa negara, seperti Singapura dengan kebijakan wajib militernya, menunjukkan bahwa pelatihan kedisiplinan dapat mengurangi tindakan kriminal di kalangan pemuda. Selain itu, para pendukung juga menekankan bahwa kebijakan ini bersifat sementara dan lebih baik daripada membiarkan anak-anak terus terlibat dalam kekerasan tanpa upaya serius dari negara.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di sisi lain, kritik keras datang dari kalangan yang menganggap kebijakan ini melanggar hak anak dan berpotensi menimbulkan trauma. Mereka menilai pendekatan militeristik tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak, yang seharusnya lebih mengedepankan rehabilitasi dan pendekatan psikologis. Beberapa ahli pendidikan juga mempertanyakan efektivitasnya, sebab disiplin yang dipaksakan melalui kekerasan (fisik atau verbal) justru bisa memicu agresivitas lebih lanjut.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini hanya akan mengkambinghitamkan anak sebagai satu-satunya pihak yang bersalah, sementara akar masalah seperti ketidakadilan sosial, kurangnya fasilitas pendidikan, dan kegagalan sistem pengasuhan diabaikan.
Sebagai penulis, saya melihat bahwa kebijakan ini—meskipun tidak sempurna—layak dicoba sebagai solusi sementara mengingat belum adanya kebijakan terpusat dari pemerintah yang lebih efektif. Selama ini, penanganan kenakalan remaja cenderung reaktif dan tidak sistematis. Polisi hanya bertindak setelah terjadi tawuran, sekolah hanya memberi sanksi setelah ada pelanggaran, sementara pemerintah pusat belum memiliki program nasional yang konkret untuk mencegah kekerasan pelajar. Dalam situasi seperti ini, wacana barak militer setidaknya menjadi upaya untuk mengisi kekosongan kebijakan.
Yang terpenting, masyarakat perlu memberi ruang untuk melihat proses dan hasilnya terlebih dahulu sebelum mencap kebijakan ini gagal atau berhasil. Jika ternyata setelah dijalankan terdapat banyak kelemahan, tentu harus ada evaluasi dan perbaikan. Namun, menolaknya mentah-mentan hanya karena dianggap "terlalu keras" tanpa memberikan alternatif yang lebih baik adalah sikap yang kontraproduktif. Bukankah lebih baik mencoba sesuatu yang baru daripada membiarkan generasi muda terus terjerumus dalam lingkaran kekerasan?
Pada akhirnya, persoalan kenakalan remaja tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu kebijakan saja. Perlu ada sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak secara sehat. Namun, selama solusi-solusi ideal tersebut belum terwujud, tidak ada salahnya mencoba pendekatan yang berbeda—asal tetap mempertimbangkan hak-hak dasar anak dan bersedia mengoreksi jika terbukti keliru. Kebijakan barak militer mungkin bukan jawaban final, tetapi dalam kondisi darurat, langkah berani patut dipertimbangkan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id