TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada hari Rabu 14 Mei 2025, Menteri UMKM Maman Abdurrahman memberikan keterangan sebagai amicus curiae atau yang biasa dikenal sebagai sahabat pengadilan dalam dugaan kasus pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) yang diduga dilakukan oleh FN selaku pemilik Toko Mama Khas Banjar.
Dimana dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Banjarbaru, Kalimantan Selatan tersebut, Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Banjarbaru mendakwa FN dengan dakwaan pertama yaitu Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen dan dakwaan kedua yaitu Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf I UU Perlindungan Konsumen.
Kasus yang saat ini tengah disidangkan tersebut bermula ketika terdapat laporan dari konsumen kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan (Polda Kalsel) pada tanggal 6 Desember 2024 terkait adanya beberapa produk yang dijual oleh Toko Mama Khas Banjar yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau expired.
Laporan dari konsumen tersebut lantas ditindaklanjuti oleh Polda Kalsel dengan melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dan ditindaklanjuti dengan proses penyidikan. Dimana pada saat proses penyidikan berlangsung, pihak penyidik telah melakukan penyitaan terhadap 35 produk Toko Mama Khas Banjar tanpa label kadaluwarsa dan pihak penyidik juga telah menetapkan pemilik Toko Mama Khas Banjar sebagai tersangka.
UU Perlindungan Konsumen hadir sebagai salah satu upaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap konsumen. Salah satu tujuan UU Perlindungan Konsumen adalah untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum serta keterbukaan informasi bagi konsumen.
UU Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 64 Pasal yang didalamnya mengatur berbagai macam bab yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, diantaranya yaitu hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha, penyelesaian sengketa, sanksi administratif sampai dengan sanksi pidana.
Dari isi UU Perlindungan Konsumen tersebut dapat kita simpulkan bahwa sejatinya UU Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang administratif yang didalamnya mengandung sanksi pidana atau biasa dikenal juga sebagai undang-undang pidana administratif.
Dikarenakan UU Perlindungan Konsumen merupakan UU yang bersifat administratif, maka apabila terjadi pelanggaran terhadap UU Konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka penyelesaian melalui hukum administrasi wajib ditempuh terlebih dahulu daripada penyelesaian melalui mekanisme hukum yang lain termasuk mekanisme hukum pidana. Dengan kata lain, penyelesaian melalui hukum administrasi bersifat primum remedium atau upaya pertama untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi.
Apabila pelaku usaha terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, maka pelaku usaha dapat dijatuhi sanksi administratif oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dimana penerapan sanksi administratif oleh BPSK tersebut telah diatur dalam Bab XIII Pasal 60 ayat (1), (2) dan (3) UU Perlindungan Konsumen.
Meskipun BPSK dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang dinyatakan bersalah, akan tetapi pada prinsipnya BPSK juga dapat memfasilitasi terjadinya mediasi antara konsumen dengan pelaku usaha agar tercipta kesepakatan diantara para pihak mengenai besaran ganti kerugian, kompensasi ataupun kesepakatan yang lain.
Sehingga BPSK tidak perlu menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha. Penjelasan tersebut merupakan bukti nyata apabila UU Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang yang sangat kental dengan nuansa administratif-keperdataannya.
Oleh karena UU Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang yang bersifat administratif, maka penerapan sanksi pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen harus dijadikan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi atau dikenal juga dengan istilah last resort atau ultimum remedium.
Last resort atau yang biasa dikenal dengan ultimum remedium merupakan sebuah istilah dari bahasa latin yang memiliki arti sebagai upaya atau obat terakhir. Apabila dikaitkan dengan sanksi pidana sebagai ultimum remedium, maka sanksi pidana sebagaiamana telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen harus dijadikan sebagai senjata pamungkas atau upaya terakhir dalam penegakan hukum, apabila upaya-upaya yang lain tidak dapat menyelesaikan permasalahan hukum tersebut.
Konsep last resort atau ultimum remedium ini juga menekankan bahwa apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui upaya kekeluargaan, negosiasi, mediasi maupun hukum administrasi, maka hendak lah penyelesaian permasahan hukum melalui upaya-upaya tersebut harus didahulukan.
Apabila penyelesaian melalui upaya perdata atau administrasi tidak membuahkan hasil, baru penyelesaian melalui sarana hukum pidana dapat dilakukan. Termasuk penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran UU Perlindungan Konsumen juga berlaku prinsip demikian. (*)
***
*) Oleh : Doni Noviantama, Partner Firmly Law Firm dan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.