Savy Amira Ajak Mahasiswa Kenang Sejarah Lewat Diskusi Reflektif Mei 1998
Sri Wahyunik May 24, 2025 02:31 PM

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, SURABAYA - Dalam rangka memperingati 27 tahun peristiwa Mei 1998, Savy Amira Women's Crisis Centre menggelar diskusi reflektif bertajuk "Tubuh Perempuan, Militerisme, dan Masa Depan Keadilan: Menolak Kekerasan, Menegakkan Ingatan" di lantai 5 Perpustakaan Universitas Surabaya (Ubaya), Sabtu (24/5/2025).

Acara ini digelar untuk mengajak masyarakat kembali mengingat tragedi kemanusiaan tersebut. 

Dian Ayu Primawardani, Ketua Pelaksana diskusi mengungkapkan diskusi ini menyoroti dampak militerisme terhadap perempuan dan kelompok rentan serta pentingnya melawan lupa atas pelanggaran hak asasi manusia.

Ia menekankan urgensi mengingat kembali sejarah kekerasan terhadap perempuan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998. 

Apalagi revisi terhadap Undang-Undang TNI yang belakangan ini bergulir dikhawatirkan membuka jalan kembalinya militerisme ke ruang sipil. 

"Kami ingin masyarakat kembali mengingat bahwa militerisme pernah begitu dominan dan berdampak besar terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan dan minoritas," ujarnya.

Dian juga menyoroti kurangnya informasi detail mengenai tragedi tersebut dalam narasi publik, termasuk dalam media arus utama dan buku pelajaran. Sehingga diskusi ini bisa menjadi wadah pengetahuan baru bagi generasi muda.

"Perkosaan terhadap perempuan Tionghoa waktu itu banyak yang masih dianggap hoaks. Padahal ini adalah kenyataan yang harus diakui agar tidak terulang," tambahnya.

Direktur Safy Amira, Siti Yunia Mazdafiah menambahkan bahwa kampus memiliki peran penting dalam sejarah reformasi. 

“Ubaya menjadi salah satu tempat berkumpulnya aktivis menolak rezim saat itu, dan 50 persen mahasiswa Ubaya adalah keturunan Tionghoa. Ini adalah bentuk nyata penghargaan terhadap multikulturalisme,” katanya.

Selain mengenang sejarah, diskusi ini juga mendorong penciptaan ruang aman yang bebas dari kekerasan berbasis gender. 

"Kami mendampingi perempuan korban kekerasan dan mengedukasi di sekolah-sekolah agar kekerasan tidak menjadi hal yang ditoleransi," jelas Siti Yunia.

Ia berharap diskusi ini menjadi bagian dari gerakan lebih luas untuk mendesak pengakuan atas peristiwa pelanggaran HAM, serta mendorong realisasi memorial permanen sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban, terutama perempuan.


 
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur

(Sulvi Sofiana/TribunJatimTimur.com)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.