Tegar dari Caruban dan Seorang Ayah Tiri yang Coba Membunuhnya di Rel Kereta Api
Moh. Habib Asyhad May 24, 2025 04:34 PM

Ayah tirinya itu mengaku tidak membenci Tegar. Namun dia mencoba membunuhnya di rel kereta api -- tapi gagal.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kamar tidur itu berukuran 2 x 4 m, berdinding anyaman bambu dan beberapa lembar papan. Langit-langitnya rendah, tanpa plafon. Di bawahnya, bocah lelaki 4 tahun, terbaring lelap di atas kasur.

Puryanto berdiri di sisi ranjang memandang lekat-lekat anak itu. Dia lalu mengangkat tubuh si bocah dan menggendongnya ke luar rumah. Dia masih tertidur dalam dekapan Puryanto hingga tiba di halaman belakang rumah. Dingin udara malam membuatnya terbangun.

“Kita mau ke mana, Pak?” tanya bocah bernama Tegar itu, setengah mengantuk.

“Cari burung di sawah,” jawab Puryanto, singkat.

Puryanto meneruskan langkah melintasi areal persawahan, menyeberangi rel kereta api, dan terus menuju ke arah selatan, lalu berhenti di dekat sebuah sumur. Puryanto menurunkan Tegar dari gendongan lantas membaringkannya di tanah.

Tegar sungguh tak mengerti apa yang hendak diperbuat Puryanto, ketika tiba-tiba saja tubuh lelaki itu menghimpit tubuhnya seperti hendak bergulat. Puryanto tiba-tiba mencekik lehernya, sembari menghimpit sepasang kakinya dengan kedua lutut. Bocah itu mengerang kesakitan. Mukanya memucat. Dengan sisa tenaganya ia meronta.

Pelan-pelan kesadarannya menghilang. Puryanto mendadak kasihan menyaksikan penderitaan anak itu. Dia melonggarkan cekikannya. Puryanto tahu Tegar belum mati. Masih terasa denyut nafas di urat leher anak itu.

Puryanto lantas mengangkat tubuh Tegar lalu menuju rel kereta api. Dia berniat menghabisi nyawa Tegar dengan membiarkan tubuhnya terlindas kereta yang lewat. Puryanto melemparkan tubuh Tegar begitu saja ke atas rel. Dia sendiri kemudian lari menyeberangi rel kereta ke arah timur, menuju pertigaan Bungkus.

Tegar masih pingsan. Badannya jatuh menelungkup menyerong di tengah rel, menunggu maut menjemput.

"Mbah, Kakiku Copot!"

Di stasiun Caruban, Kabupaten Madiun, jarum jam menunjukkan pukul 03.17 ketika kereta ekonomi Matarmaja jurusan Pasar Senen – Malang perlahan bergerak meninggalkan peron. Petugas stasiun, Bambang Yunianto, mencatat kereta terlambat 38 menit dari jadwal seharusnya.

Di rel kereta kilometer 147, Tegar masih tergeletak tak sadarkan diri. Hanya butuh kurang dari 10 menit dari stasiun Caruban, tubuh Tegar siap disambar. Kereta itu lantas menggilas putus kaki kanan Tegar. Potongan kakinya terseret sejauh 10 m.

Jeritnya yang kesakitan tertelan gemuruh deru mesin kereta. Dengan sebelah kaki yang putus, Tegar merangkak sejauh 50 m melewati bebatuan di tepi rel, tumpukan jerami kering sisa panen, dan merayapi pematang sawah menuju rumahnya.

“Mbah... Mbah, kakiku copot, Mbah!” Tegar berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu depan rumah.

Sukardi, kakek Tegar, sontak terbangun. Dengan langkah memburu ia membuka pintu diikuti istrinya, Saikem, dan mendapati Tegar terduduk di tanah dengan muka pucat. “Kenapa kamu kok duduk di situ?” tanya Sukardi, panik.

“Aku ditabrak kereta sama Bapak. Kakiku copot, Mbah.”

Sukardi kaget bukan main menyaksikan tungkai kaki kanan cucunya yang berdarah dan putus nyaris setengah. Teriakan histeris Saikem memecah keheningan Minggu pagi, 5 Juli 2009, di dusun Robahan. Namun bocah itu tak menangis, hanya saja mukanya makin memucat. Bocah kecil itu sungguh tegar seperti namanya, Endy Tegar Kurniadinata.

Hampir pukul 4 pagi, Rumah Sakit Panti Waluyo di Madiun, sepi. Sumanto, paman Tegar, harus berputar-putar mencari paramedis yang bertugas. Ruang unit gawat darurat pun kosong. Tak berapa lama dokter jaga datang. Dia sungguh kaget melihat kondisi luka kaki Tegar. Jaringan otot dan pembuluh darahnya hancur. Tulang kaki-nya remuk.

“Potongan kakinya mana?” tanya dokter, “Siapa tahu bisa disambung.”

Lantaran peralatan kurang memadai, Tegar harus dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Soedono di Kota Madiun, jaraknya sekitar 24 km. Saat itu hampir pukul 5 pagi. Menurut dokter, kaki Tegar harus diamputasi. Bukan persoalan kehabisan darah yang bisa merenggut nyawa Tegar, melainkan risiko infeksi.

Kondisi kaki Tegar justru menyelamatkan jiwanya. Dokter Siwi Mardiati, juru bicara rumah sakit dr. Soedono, menjelaskan kaki Tegar yang putus total membuat pembuluh darah menutup secara sempurna. Ini akibat kontraksi otot-otot di sekitar pembuluh darah, sehingga Tegar terhindar dari risiko pendarahan hebat.

Sekitar satu jam dokter melakukan tindakan debridemang atau pembersihan luka dan amputasi. Operasi berjalan lancar. Kaki kanan Tegar diamputasi hingga menyisakan sedikit bagian di bawah lututnya. Pada hari kelima, Tegar sudah dibolehkan pulang.

Dikira Sudah Mati

Rasa takut segera menjalari Puryanto. Usai melemparkan tubuh Tegar, Puryanto melarikan diri ke pertigaan Bungkus, Madiun, dan berlanjut naik bus ke terminal Jombang. Dia hanya singgah satu jam lalu memutuskan kembali ke Madiun, tiba sekitar pukul 7 pagi.

“Hey Jolodong!” Seorang pengamen berseru. Jolodong nama panggilan Puryanto di kalangan teman-temannya. “Aku habis ngamen dari pasar, katanya ada pembunuhan di Robahan,” ujar si teman.

Puryanto makin ketakutan. Dia tak menyangka berita itu cepat menyebar. Dia mengira Tegar sudah mati tergilas kereta. Dalam kalut, Puryanto memutuskan pergi ke Sragen, tidur di sebuah masjid sampai pukul 15.00. Lantas dia melanjutkan ke Solo, lalu menuju rumah orangtuanya di Lampung.

Puryanto hanya singgah sekitar empat jam. Diantar Yitno, adik lelakinya, ia ke rumah Jahar, seorang saudaranya di Palembang. Kepada Jahar ia mengaku memotong kaki selingkuhan istrinya sehingga kabur dari Madiun. Beruntung Jahar mau menampung Puryanto.

Suatu hari, Jahar dan istrinya menonton berita di televisi tentang penganiayaan yang dilakukan Puryanto. Rupanya korbannya bukanlah selingkuhan istrinya, melainkan Tegar, anak tirinya sendiri. Istri Jahar marah. Puryanto yang tak enak hati memutuskan pergi ke pulau Bangka.

Di dusun Robahan sendiri, petugas Polsek Mejayan dan Polres Madiun sibuk memeriksa sekitar tempat kejadian perkara. Dari hasil penyelidikan lapangan, polisi menduga pelakunya adalah Puryanto.

Polisi segera memburu Puryanto, menyisir daerah di sepanjang rel, mencari ke terminal tempat Puryanto biasa bekerja, menanyai teman-teman dan bibinya dari pihak ayah di Ponorogo. Hasilnya nihil. Polisi memutuskan memperluas pencarian ke luar kota, ke tempat-tempat Puryanto biasa mengamen.

Dulu Puryanto bekerja sebagai pengamen bus antarkota, dari Madiun, Yogya, Solo, hingga Jombang. Perkiraan polisi tidaklah meleset: Puryanto memang sempat melarikan diri ke kota-kota tersebut namun hanya singgah sebentar.

Suatu pagi, saat Depi Kristiani menunggui Tegar di rumah sakit, ponselnya berdering dari nomor tak dikenal. Meski si penelepon tak menyebutkan namanya, Depi tahu itu suara suaminya.

Keesokan harinya, Depi menerima ancaman lewat pesan pendek, “Saya akan bakar rumah kamu dan keluargamu supaya kamu tambah sengsara!” Lagi-lagi dari nomor tak dikenal. Polisi menduga nomor tersebut adalah nomor daerah Sumatera.

Iptu Marganda Aritonang, Kepala unit Reskrim Polres Madiun, bersiap-siap memimpin operasi penangkapan Puryanto di Lampung. Sepekan setelah kejadian, 13 Juli 2009, empat petugas Reskrim Polres Madiun berangkat ke Lampung. Tujuannya, rumah orangtua Puryanto di desa Pisang Baru, Way Kanan. Selama beberapa hari, Aritonang bersama tiga orang anak buahnya memantau rumah tersebut.

Belakangan Aritonang mendapat informasi Puryanto masih punya saudara di OKU Timur, Palembang. Penyelidikan polisi membuahkan hasil. Aritonang menyimpulkan pihak keluarga mengetahui keberadaan Puryanto.

Yitno, adik lelaki Puryanto, orang pertama yang ditanya polisi. Tapi dia mengaku tidak tahu keberadaan kakaknya. Pencarian berlanjut. Kali ini giliran Lastri, kakak perempuan Puryanto, yang disambangi polisi. Saat ditemui ia sedang menjaga warung di muka rumah.

“Kopinya empat, Bu,” kata Aritonang.

Sambil menyeruput kopi panas, Aritonang mulai menjelaskan maksud kedatangannya. Awalnya Lastri bungkam, namun ketika disadarkan terus tentang kejahatan adiknya, akhirnya ia menjelaskan kalau Puryanto tinggal bersama Parman, kakak iparnya, di Pulau Bangka.

Berbekal informasi itu, polisi kembali menanyai Yitno. Kali ini Yitno tak bisa mengelak, telah mengantar Puryanto ke Palembang, lalu membawanya ke Bangka.

Sementara Lastri yang belum berhasil menghubungi ponsel Puryanto, akhirnya mengirim pesan singkat kepada Parman di Bangka. Tak lama berselang ada panggilan telepon masuk. Yitno menerima panggilan itu.

“Kamu di mana, Kak?” tanya Yitno.

“Saya lagi di Biat sama Parman. Kamu gak usah khawatir. Nanti kalau saya sudah kerja bagus di sini, kamu saya ajak,” sahut Puryanto di ujung telepon. Yitno tahu lokasi tersebut karena pernah bekerja di sana.

Tak Ada Ganguan Mental

Polisi akhirnya menemukan titik terang keberadaan Puryanto. Pukul 22.00, Aritonang dan anak buahnya berangkat ke Bangka dan langsung berkoordinasi dengan aparat Polsek Muntok. Selanjutnya, Aritonang dan tiga anak buahnya beserta enam aparat lokal, berangkat menuju Biat, Bangka Barat.

Keesokan harinya, sekitar 12 siang, Puryanto dan Parman terlihat bekerja menggarap lahan kebun palawija. Lokasinya dikelilingi rawa dan tetumbuhan bakau. Keduanya tidak tahu kalau gerak-geriknya diawasi polisi.

Para polisi segera membentuk formasi menyergap buronan. Jaraknya sekitar 500 m dari tempat mereka bekerja. Setengah jam kemudian, aparat bergerak makin merapat mendekati lokasi hingga mengepung Puryanto dan Parman.

“Jolodong, jangan bergerak!” Aritonang berseru sambil menodongkan senjata.

“Ampun... ampun..., Pak!” Puryanto mengangkat kedua tangannya.

Siang itu, 19 Juli 2009, 14 hari masa pelarian Puryanto berakhir. Aparat meringkus dan membawanya ke Polsek Muntok. Esoknya, Puryanto diterbangkan ke Jawa Timur.

Puryanto yang saya temui di markas polres madiun, 25 Agustus 2009, pagi itu memakai celana kain selutut dan kaos oblong putih. Dia berperawakan pendek dan kekar, kulit sawo matang, wajah persegi. Rambutnya dipapas habis.

Alasannya menganiaya Tegar, “dipicu emosi yang berlebihan karena sempat memergoki istri saya bersama laki-laki lain,” kata Puryanto dengan kepala tertunduk. “Sampai sekarang saya masih bingung kenapa saya punya pikiran picik seperti itu.”

Sementara tim psikolog universitas Widya Mandala Madiun menyatakan kondisi kejiwaan puryanto normal. Hasil pemeriksaan menunjukkan dia tidak menderita kelainan jiwa yang bisa menjadi penyebab tindakan keji tersebut.

Laporan PBB dalam “World Report on violance against children” pada 2006 menyebutkan orangtua yang memiliki gangguan mental cenderung melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya.

Terdapat sejumlah faktor lain yang bisa memicu hal serupa, seperti kemampuan pengendalian diri yang buruk, penghargaan diri rendah dan kecanduan narkoba maupun alkohol. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan orangtua dan penghasilan minim juga dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak.

Meski bukan anak kandungnya, Puryanto mengaku menyayangi Tegar dan tidak pernah membencinya. Dia membantah kerap berlaku kasar terhadap anak tirinya, namun dia suka menyentil telinga Tegar jika nakal, sekadar mengajarinya. Ini berbeda dari keterangan istrinya, Depi Kristiani, yang mengatakan Puryanto kerap memukul dan memaki Tegar.

Di Markas Polres Madiun, Puryanto mengaku menyesali perbuatannya. Dia berharap istri dan keluarganya mau memaafkan dan menerimanya kembali.

“Saya tidak ingin bercerai. Saya mau membesarkan anak-anak, apalagi saya sudah membuat kesalahan sama Tegar. Saya ingin menebusnya kalau masih ada kesempatan,” kata Puryanto, sungguh-sungguh.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.