Tim ilmuwan dari National Cancer Institute (NCI), Amerika Serikat, berhasil menciptakan metode inovatif untuk mengukur konsumsi makanan ultra-proses (ultra-processed food/UPF) secara objektif menggunakan skor metabolit dari sampel darah dan urine.
Temuan ini diterbitkan dalam jurnal PLOS Medicine edisi Mei dan dinilai berpotensi mengubah arah riset nutrisi global Makanan ultra-proses mencakup produk seperti camilan kemasan, makanan instan, hingga minuman ringan, yang selama ini diukur konsumsinya melalui pelaporan mandiri yang rentan bias.
Kini, berkat teknologi metabolomik dan analisis statistik LASSO, para peneliti dapat mendeteksi lebih dari 1.000 metabolit yang merepresentasikan pola makan seseorang.
“Dengan pendekatan ini, kami bisa mengetahui berapa banyak seseorang mengonsumsi makanan ultra-proses berdasarkan hasil laboratorium, tanpa perlu bergantung pada data yang dilaporkan sendiri,” ujar Dr. Erikka Loftfield, peneliti utama studi ini.
Untuk menguji validitasnya, para ilmuwan melibatkan 20 sukarelawan sehat dalam uji silang yang membandingkan pola makan tinggi UPF dengan pola makan tanpa UPF. Hasilnya, skor metabolit terbukti mampu membedakan dengan jelas kedua pola makan tersebut.
Menariknya, skor ini juga terkait dengan risiko kesehatan. Salah satu metabolit, N6-carboxymethyllysine, yang meningkat pada konsumsi UPF tinggi, diketahui berkaitan dengan diabetes dan penyakit jantung. Sebaliknya, metabolit dari konsumsi buah-sayur seperti β-cryptoxanthin, justru menurun pada mereka yang banyak mengonsumsi UPF.
Meski hasil awalnya menjanjikan, para peneliti menekankan perlunya validasi lebih lanjut pada populasi dengan latar belakang usia dan etnis yang lebih beragam.
“Ini adalah langkah awal yang penting untuk mengembangkan biomarker diet yang dapat diandalkan. Ke depan, skor ini bisa menjadi alat bantu untuk memperbaiki akurasi data diet dalam riset epidemiologi,” pungkas Loftfield.