Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
ENTAH mengapa, saya mendapat giliran menjadi khatib di Masjid Noor tepat pada Jumat, 23 Mei 2025 kemarin. Ini adalah hari dan tanggal bersejarah yang pahit. Jumat, 23 Mei 1997 silam, kerusuhan merebak di Kota Banjarmasin. Masjid Noor dan jemaah salat Jumat pada hari itu, merupakan saksi-saksi mata bagaimana awal mula petaka itu meletus.
Usai salat Jumat, saya berbincang dengan para pengurus masjid, menanyakan peristiwa itu. Ingatan mereka masih jernih. Dalam rangkaian Pemilu 1997, hari itu adalah hari terakhir kampanye Golkar, partai penguasa Orde Baru. Sebelum Jumatan, sudah banyak anak muda beratribut Golkar, berputar-putar naik sepeda motor dengan suara knalpot yang meraung-raung di seputar Masjid Noor. Baru saja salat Jumat selesai, beberapa pesepeda motor itu menerobos batas yang dibuat untuk orang-orang yang salat di badan jalan. Sejumlah orang pun terprovokasi, marah, dan meletuslah kerusuhan.
Entah bagaimana, orang-orang yang berkaos PPP bermunculan. Mereka memaksa orang-orang yang berkaos Golkar melepaskan kaos mereka. Konon, ibu-ibu juga dipaksa, hingga yang tersisa di badan hanya beha! Massa bergerak ke kantor DPD Golkar di Jalan Lambung Mangkurat, membakar mobil dan motor yang parkir di halaman kantor itu hingga api menjalar ke gedung, menurunkan bendera Golkar dan menggantinya dengan bendera PPP. Massa terus mengggila. Mereka membakar Junjung Buih Plaza, toko Lima Cahaya, Sarikaya, hingga Mitra Plaza. Mereka juga menjarah barang-barangnya.
Polisi tampak kewalahan menghadapi para perusuh. Menjelang malam, pasukan khusus (tentara) datang menertibkan dan mengendalikan keadaan. Malam itu, mereka melarang siapa pun yang berkeliaran di jalan. Salah satu pengurus Masjid Noor mengaku melihat dari balik pintu gang seorang anak muda babak belur dipukuli petugas karena tak mengindahkan larangan itu. Sejak malam berikutnya hingga akhir bulan Mei 1997, jam malam diberlakukan. Suasana Banjarmasin mencekam. Banyak orang yang mengadu bahwa keluarganya hilang, tak pulang-pulang.
Pada 30 Mei 1997, Tim Pencari Fakta dari Komnas HAM yang dipimpin oleh Sekjennya, Baharuddin Lopa, tiba di Banjarmasin. Mereka menyelidiki kasus kerusuhan ini. Pada 2 Juni 1997, media mencatat bahwa menurut Komnas HAM, ada 197 orang yang dilaporkan hilang. Namun, jumlah orang yang ditemukan meninggal adalah 123 orang, yang semuanya tewas terbakar. Rinciannya adalah 121 orang ditemukan di lantai 2 Mitra Plaza, dan 2 orang di Lima Cahaya. Selain itu, pihak keamanan menahan dan memeriksa 181 orang, tetapi kemudian 100 orang dipulangkan.
Sabtu, 31 Mei 1997, 123 orang korban itu dimakamkan di TPU milik Pemerintah Kota Banjarmasin, di Landasan Ulin Km 22, Banjarbaru. Semua jenazah dimandikan dan disalatkan di Rumah Sakit Ulin. Dua jenazah dimakamkan dengan peti, dan sisanya yang berupa tulang belulang hanya dibungkus dengan kain kafan. Tiga jenazah lainnya telah diserahkan kepada pihak keluarga karena identitas mereka dapat diketahui. Pemakaman dihadiri dua pejabat Kota Banjarmasin, para wartawan dan tiga keluarga korban. Prosesi penguburan berlangsung sekitar empat jam, dari jam 16.00 sampai 20.00.
Masih banyak informasi yang dapat digali dan dikaji perihal kerusuhan ini. Dua kajian yang dilakukan tak lama setelah kerusuhan meletus, yakni oleh Hairus Salim (1997) dan Mohtar Mas’oed dkk (2000) antara lain menunjukkan bahwa besar kemungkinan ada pihak yang bermain mendorong kerusuhan itu. Massa yang datang, mengamuk hingga mengacung-acungkan celurit, tampaknya bukan orang-orang lokal, tetapi didatangkan dari luar. Siapakah yang bermain di balik semua ini, yang oleh Salim disebut “invisible hands”, tangan-tangan yang tak terlihat? Sampai hari ini, kita tak pernah tahu!
Kita bisa saja mengira-ngira, bahwa kerusuhan itu mungkin termasuk dalam apa yang disebut oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan operasi “Naga Hijau” yang ingin mendiskreditkan Gus Dur dan NU, yang waktu itu menjadi kekuatan oposisi terhadap pemerintah. Sudah maklum bahwa Kalsel adalah lumbung NU, dan massa NU adalah unsur pendukung PPP yang terbesar. Namun, ini sekadar tebak-tebakan belaka, yang belum tentu benar. Yang pasti, setelah itu politik nasional terus bergolak, menelan banyak korban, hingga Soeharto jatuh tepat setahun kemudian, pada Mei 1998.
Bagi kita rakyat biasa, tentu berharap bahwa peristiwa menyedihkan ini jangan sampai terulang kembali. Karena itu, sebab-sebab yang mendorong kerusuhan ini sebisa mungkin dihindari. Kita tak cukup hanya menyalahkan para provokator yang sengaja memanas-manasi (jika memang ada), karena sehebat apapun provokasi takkan berhasil jika masyarakat baik-baik saja. Rumput yang basah dan hijau akan sulit dibakar. Sebaliknya, jika rumput sudah kering kecoklatan, jangankan kobaran api yang besar, percik api yang kecil saja dapat membuatnya menyala-nyala.
“Kekeringan rumput” itu tampak sekali pada perilaku anarkis para perusuh, yang menjarah dan mengambil barang-barang yang ada di toko-toko seperti Sarikaya, Lima Cahaya, hingga Mitra Plaza. Andai mereka hidup makmur, terpenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan, tentulah mereka tak melakukan pencurian seganas itu. Begitu pula, amuk masyarakat terhadap atribut-atribut Golkar, yang saat itu identik dengan penguasa negara, tampaknya merupakan luapan rasa tak puas, kecewa, dan marah kepada pemerintah.
Kata orang, pengalaman adalah guru yang paling baik. Kita bisa belajar dari pengalaman, terutama yang pahit. Kini sudah 28 tahun Jumat kelabu itu berlalu. Kini sistem politik kita multipartai, tidak didominasi oleh satu partai saja. Namun, seberapa jauh keadaan berubah? Apakah kesenjangan ekonomi masih saja menganga dan kesejahteraan belum merata? Apakah elit politik memikirkan kekuasaan dan kekayaan mereka saja, dan rakyat sekadar dibeli suaranya saat pemilu? Apakah janji-janji Reformsi tinggal kenangan belaka? Jika jawabnya “ya”, maka patutlah kita semua waspada.
Keadilan dan keseimbangan adalah hukum alam sekaligus hukum sejarah. Jika kita kurang istirahat, maka badan kita akan sakit. Jika ekonomi masyarakat kita timpang, maka berbagai penyakit sosial akan tumbuh subur, dari kecemburuan sosial hingga kriminalitas. Tugas kita adalah mengobati dan mencegah penyakit tersebut, jangan sampai menjadi akut, sesuai kemampuan dan tanggung jawab kita masing-masing. (*)
Kata orang, pengalaman adalah guru yang paling baik. Kita bisa belajar dari pengalaman, terutama yang pahit. Kini sudah 28 tahun Jumat kelabu itu berlalu. Kini sistem politik kita multipartai, tidak didominasi oleh satu partai saja. Namun, seberapa jauh keadaan berubah? Apakah kesenjangan ekonomi masih saja menganga dan kesejahteraan belum merata?