TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI, Reni Astuti mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk memberikan sanksi tegas ke penyedia aplikasi transportasi online usai banyaknya aduan soal masalah ketidakesejahteraan para pengemudi transportasi online (ojol).
Dia bertanya kepada Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Muiz Thohir soal masalah ini.
"Pernah enggak Kemenhub ini memberikan sanksi kepada aplikator atas begitu banyaknya aduan-aduan yang sudah disampaikan ojol?" ujar Reni saat diskusi terkait RUU Transportasi Online, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
Legislator PKS itu pun mengingatkan Kemenhub bahwa berdasarkan undang-undang, pemerintah dapat melakukan pemblokiran terhadap aplikator jika melanggar regulasi.
"Hanya saja kalau ini dilakukan, saya khawatir juga ini akan memutus mata pencaharian para ojol. Jadi, kalau bisa memang ada sanksi saja. Jika tidak ada pekerjaan ini (ojol) juga kan jadi ruwet," kata Reni.
Karena itulah, dia berharap para pengemudi ojol dan juga aplikator saling tumbuh sehingga keduanya bisa sama-sama mendapatkan kesejahteraan yang adil.
"Tolong, jangan ada eksploitasi, jangan ada pemerasan, jangan ada ketidakadilan. Kita wujudkan kesejahteraan bersama-sama sebagaimana yang menjadi komitmen dari Presiden Prabowo," pungkas dia.
Sebelumnya, Komisi V DPR RI akan memanggil Menteri Perhubungan atau Menhub, Dudy Purwagandhi untuk membahas tuntutan pengemudi ojek online (ojol) terkait penurunan potongan biaya jasa aplikasi menjadi 10 persen.
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Yanuar Arif Wibowo mengatakan, pihaknya ingin mendengarkan penjelasan langsung dari Kementerian Perhubungan terkait ketentuan potongan maksimal sebesar 20 persen.
"Kita mau dengar dari Pak Menteri nanti seperti apa. Tentu kan 20 persen ini harus bisa dijelaskan dulu," kata Yanuar saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (25/5/2025).
Yanuar menyebut, setelah pemanggilan Menhub, Komisi V juga berencana memanggil pihak aplikator sebagai penyedia layanan ojek daring.
"Dan sebenarnya, ya, nanti habis itu kita mau panggil aplikatornya. Sebenarnya itu aplikator yang ingin kita dengar, gitu lho," ujarnya.
Namun, Yanuar menyoroti kompleksitas pengaturan terhadap aplikator yang berada di bawah dua kementerian berbeda, yaitu Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
"Pertama terkait tarifnya itu di perhubungan sama keselamatannya. Aplikasinya itu di Komdigi, lho. Jadi regulasi aplikasinya ini di Komdigi, bukan di Kementerian Perhubungan. Ini yang agak repot, kan? Yang bisa men-take down mereka, gitu ya, kalau itu dianggap merugikan masyarakat, itu Komisi 1, Komdigi," ucap Yanuar.
Yanuar mengatakan, potongan 20 pesen sejatinya telah diatur dalam Kepmenhub KP No. 1001 Tahun 2022.
"Kalau di peraturan menteri itu kan maksimum 20 persen, ya kan? 15 persen untuk belanja aplikasi, 5 persen dikembalikan ke mitra, untuk kemajuan mitra," tuturnya.
Dia menyebut, angka potongan yang selama ini diterapkan aplikator tentu memiliki mempertimbangkan berbagai faktor bisnis.
Namun, dia menekankan bahwa skema potongan 10 persen juga sudah diterapkan oleh sejumlah perusahaan penyedia layanan serupa.
"Kalau tuntutan teman-teman 10 persen, kalau secara umum gitu ya, bicara wajar, bisa aja. Kenapa? Karena ada aplikator lain yang juga membuat pemotongan aplikasi itu cuma 10 persen. Ada yang 11-12 persen, ya," ujarnya.
Dia menuturkan, besaran potongan yang ditetapkan aplikator mestinya memperhatikan aspek keadilan bagi para mitra pengemudi.
"Nah, artinya apa? Kalau dari sisi mungkin, mungkin. Cuman kan tentu ada hitungan-hitungannya. Berapa yang kemudian pantas gitu ya. Kemudian teman-teman ini mendapatkan porsi yang lebih adil," tegasnya.