TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa hari terakhir, jagat media sosial kembali dihebohkan dengan viralnya pernikahan dini di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana pasangan muda—bahkan masih belia—terlihat melangsungkan pernikahan secara adat.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru di Lombok, di mana pernikahan usia anak masih sering terjadi karena kuatnya pengaruh budaya, keterbatasan ekonomi, dan rendahnya tingkat pendidikan. Namun, viralnya kasus ini kembali memantik perdebatan sengit antara mereka yang pro dan kontra, sekaligus memunculkan pertanyaan penting: bagaimana cara menghormati tradisi lokal tanpa mengabaikan dampak negatif yang mungkin timbul dari pernikahan dini?
Pernikahan dini di Lombok tidak bisa dilepaskan dari adat Sasak, khususnya tradisi merarik atau kawin lari. Dalam budaya ini, seorang lelaki dapat "membawa lari" seorang perempuan, dan keluarga kemudian akan memaksa mereka menikah demi menjaga kehormatan.
Selain faktor budaya, kemiskinan juga menjadi pendorong utama, di mana banyak keluarga melihat pernikahan sebagai cara untuk mengurangi beban ekonomi. Akses pendidikan yang terbatas, terutama bagi perempuan, semakin mempersempit pandangan tentang masa depan di luar pernikahan.
Meski Undang-Undang No. 16/2019 telah menaikkan batas minimal usia nikah menjadi 19 tahun, dispensasi nikah dari Pengadilan Agama masih mudah diperoleh dengan alasan adat atau "kondisi khusus," sehingga praktik pernikahan dini tetap berlangsung.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di satu sisi, pernikahan dini dianggap sebagai solusi untuk menjaga nilai moral dan agama, terutama dalam mencegah pergaulan bebas atau kehamilan di luar nikah. Bagi masyarakat Sasak, tradisi merarik adalah bagian dari identitas budaya yang sulit dihilangkan, dan pernikahan dianggap sebagai penyelesaian yang sah secara adat. Selain itu, pernikahan juga dipandang sebagai cara untuk mengalihkan tanggung jawab nafkah dari orang tua ke suami, terutama jika pasangan berasal dari keluarga yang lebih mampu secara ekonomi. Namun, di sisi lain, dampak negatifnya tidak bisa dianggap sepele. Remaja perempuan yang hamil di usia dini berisiko tinggi mengalami komplikasi kesehatan, termasuk kematian ibu, bayi prematur, atau stunting. Mayoritas pengantin anak juga terpaksa putus sekolah, yang pada akhirnya memperpanjang rantai kemiskinan. Ketidakdewasaan emosional pasangan muda juga sering berujung pada konflik rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau perceraian dini.
Larangan total terhadap pernikahan dini bukanlah solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk kasus Lombok, karena akan menimbulkan resistensi budaya yang justru bisa memperburuk situasi. Masyarakat Sasak memiliki sistem nilai yang sangat menghargai tradisi, dimana praktik seperti merarik (kawin lari) bukan sekadar kebiasaan, tetapi bagian dari identitas kultural yang telah berlangsung turun-temurun. Pendekatan yang lebih bijak adalah mencari titik temu antara melestarikan nilai-nilai luhur budaya dan melindungi hak-hak dasar anak.
Pertama, program edukasi komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan hak anak perlu diintensifkan melalui berbagai saluran. Di lingkungan sekolah dan pesantren, materi ini harus disampaikan dengan pendekatan yang sesuai konteks lokal, mungkin dengan mengembangkan modul khusus yang memadukan ilmu agama, kesehatan, dan pengetahuan tentang undang-undang perkawinan. Kampanye media sosial bisa dirancang dengan konten kreatif seperti cerita bergambar, podcast, atau drama pendek yang menampilkan tokoh-tokoh masyarakat Lombok yang disegani. Penting untuk melibatkan pemuka agama, tokoh adat, dan bahkan mantan pengantin anak sebagai narasumber, karena figur-figur inilah yang paling didengar oleh masyarakat.
Kedua, mekanisme pemberian dispensasi nikah perlu direformasi secara mendasar. Pengadilan Agama harus membentuk tim khusus yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, dan tokoh masyarakat untuk mengevaluasi setiap permohonan dispensasi. Proses konseling pranikah wajib diikuti minimal 3 bulan sebelum pernikahan, mencakup materi tentang pengasuhan anak, manajemen keuangan rumah tangga, hingga penyelesaian konflik pernikahan. Calon pengantin juga harus menunjukkan bukti memiliki sumber penghasilan atau keterampilan yang memadai.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Ketiga, pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas melalui program konkret. Pemerintah daerah bisa membuat kebijakan seperti beasiswa khusus bagi remaja putri yang berprestasi, dengan insentif tambahan bagi keluarga yang menyekolahkan anak perempuannya hingga SMA. Pelatihan keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan khas Lombok, atau digital marketing perlu diselenggarakan secara rutin di desa-desa. Yang tak kalah penting adalah menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah perempuan muda, mungkin melalui pengembangan usaha kecil menengah berbasis potensi lokal.
Keempat, modernisasi tradisi merarik bisa dilakukan dengan tetap mempertahankan ruhnya. Misalnya, tokoh adat bisa bersepakat menetapkan syarat minimal usia 19 tahun untuk praktik ini, serta mewajibkan adanya pernyataan kesanggupan dari pihak laki-laki untuk bertanggung jawab secara ekonomi. Prosesi adat tetap bisa dilaksanakan, tetapi didahului dengan pembekalan dari tetua desa tentang hak dan kewajiban dalam berumah tangga.
Terakhir, sinergi antara pemerintah dan LSM perlu diperkuat. Implementasi Perda NTB No. 8/2018 harus diawasi ketat, dengan sanksi tegas bagi yang melanggar. LSM bisa fokus pada pendampingan pasca-nikah, seperti menyediakan klinik kesehatan reproduksi khusus remaja, kelas pendidikan berkelanjutan, atau bantuan modal usaha bagi keluarga muda. Pemantauan berkala terhadap pengantin anak juga penting untuk memastikan mereka tidak menjadi korban KDRT atau terjerat dalam kemiskinan.
Pernikahan dini di Lombok adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan seimbang antara menghormati budaya dan melindungi hak anak.
Tradisi seperti merarik tidak harus dihapus, tetapi perlu diarahkan agar tidak merugikan masa depan generasi muda. Dengan kolaborasi antara pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat, Lombok bisa mempertahankan kekayaan budayanya sekaligus memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh sehat, berpendidikan, dan meraih masa depan yang lebih baik. Yang terpenting, hak anak untuk hidup layak tidak boleh dikorbankan hanya demi mempertahankan tradisi semata. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id