Ketum PBNU Dorong Perjanjian Hudaibiyah Jadi Model Konsensus Atasi Konflik Global
GH News May 29, 2025 09:03 AM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mendorong agar perjanjian Hudaibiyah dijadikan rujukan dalam membangun konsensus global untuk mengatasi berbagai konflik kemanusiaan saat ini. 

Pandangan tersebut disampaikan Ketum PBNU usai Diskusi Pakar#3 yang digelar Institute for Humanitarian Islam (IFHI) di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/5/2025). Perjanjian Hudaibiyah adalah sebuah perjanjian damai yang disepakati antara kelompok Islam yang dipimpin Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy di wilayah Hudaibiyah (dekat Mekkah) pada bulan Dzulqa'dah tahun 6 Hijriah (628 M). 

Menurut Ketum PBNU, konsensus tersebut sangatlah penting untuk memberikan kontribusi konkret terhadap upaya penyelesaian krisis kemanusiaan global.

"Islam seharusnya memiliki jawaban atas kemelut kemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan. Kalau tidak, lalu apa gunanya Nabi Rasulullah Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam?," ucap pria yang akrab disapa Gus Yahya.

Gus Yahya menjelaskan, selama beberapa tahun terakhir, PBNU telah melakukan berbagai kajian mendalam yang melibatkan pakar lintas agama dan budaya dari berbagai belahan dunia. Tujuannya adalah merumuskan solusi terhadap meningkatnya konflik antaridentitas yang menjadi akar dari banyak krisis global saat ini.

"Kami menemukan bahwa konsensus adalah kunci. Jika umat manusia bisa membangun kesepakatan bersama yang ditaati oleh seluruh pihak, maka berbagai konflik identitas yang selama ini sulit diselesaikan dapat diurai," tuturnya. 

Gus Yahya menegaskan bahwa perjanjian Hudaibiyah sebagai contoh konkret dalam sejarah Islam yang menunjukkan sebuah kesepakatan bisa menundukkan norma keagamaan yang sudah mapan demi kemaslahatan bersama.

"Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW lebih mengutamakan perdamaian. Meskipun ada diktum yang tampaknya merugikan umat Islam, seperti pengembalian Muslim Mekkah yang membelot ke Madinah, Rasulullah tetap menghormati perjanjian itu," kata Gus Yahya.

Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah ini menyebut, posisi perjanjian dalam nilai-nilai agama sangat kuat dan bisa menjadi basis untuk membangun peradaban baru yang lebih damai.

"Pacta sunt servanda, ungkapan Latin yang berarti 'kesepakatan harus ditepati', itu juga sejalan dengan nilai-nilai Islam. Islam bukan hanya untuk umat Islam saja, tapi menawarkan solusi bagi seluruh umat manusia," ucap Gus Yahya. 

Diskusi pakar yang digagas IFHI dihadiri oleh berbagai tokoh, akademisi, jurnalis dan aktivis kemanusiaan. Mereka antara lain KH Ulil Abshar Abdalla, KH Rumadi Ahmad, KH Ahmad Suaedy, dan Sururin. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.