TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Jawa Tengah merupakan provinsi strategis dengan potensi, populasi dan pertumbuhan ekonomi. Jateng juga menjadi salah satu provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia. Dengan porsi jumlah penduduk yang besar, provinsi ini memegang peran strategis dalam perekonomian nasional.
Jumlah penduduk Jawa Tengah pada 2024 yang mencapai 37,8 juta jiwa, dengan nilai PDRB warga provinsi ini sebesar Rp47,9 juta per kapita. Jawa Tengah juga memberi kontribusi sebesar 14,48 persen terhadap perekonomian di Pulau Jawa.
Namun, di balik angka populasi dan geliat pembangunan infrastruktur, tersembunyi persoalan mendasar: kesenjangan ekonomi yang masih tinggi dan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Dalam konteks ini, penguatan ekonomi kerakyatan menjadi salah satu pendekatan paling relevan untuk menghadirkan keadilan sosial dan pertumbuhan yang lebih inklusif.
Ekonomi kerakyatan bukan semata istilah retoris dalam pidato pembangunan. Ia adalah konsep yang berpijak pada kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan hidup pada sektor informal, UMKM, pertanian rakyat, koperasi, dan ekonomi berbasis komunitas.
Di Jawa Tengah, struktur ini sangat kentara. Data dari Provinsi Jawa Tengah (2024) mencatat, kontribusi besar unit usaha, baik unit usaha di daerah ini berada pada level mikro dan kecil, terhadap perekonomian Jawa Tengah.
Pada kurun waktu lima tahun terakhir, omzet UMKM di Jawa Tengah tembus di atas Rp60 triliun. Data terbaru menunjukkan, omzet keseluruhan UMKM di provinsi ini mencapai Rp69,64 triliun. Khusus untuk ekspor, pada 2022, nilai ekspor UMKM di Jawa Tengah ke 32 negara mencapai Rp206 miliar.
Sejumlah produk unggulan yang bisa menembus pasar internasional antara lain batik, tekstil, dan produk pertanian. Sektor UMKM memberi kontribusi penting terhadap PDRB Jawa Tengah, yakni tahun 2021 sebesar 12,45 persen, pada tahun 2022 sebesar 12,46 persen, dan pada tahun 2023 sebesar 14,89 persen.
Dukungan Kebijakan
Meski demikian, perlu ada dukungan kebijakan strategis dari pemerintah untuk memperkuat fondasi dan perluasan ekonomi dari sektor UMKM. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun pelaku ekonomi kerakyatan berjumlah besar, posisi mereka dalam perekonomian masih rentan terhadap ancaman.
Ketergantungan pada pasar lokal, keterbatasan modal, rendahnya akses teknologi, dan lemahnya kapasitas manajerial membuat mereka sulit naik kelas. Di sisi lain, pandemi Covid-19 yang lalu juga mengungkap betapa rapuhnya jaringan penghidupan masyarakat kecil. Ketika permintaan menurun dan mobilitas terbatas, banyak pelaku usaha mikro gulung tikar tanpa jaring pengaman.
Tantangan dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan tidak hanya bersumber dari aspek teknis. Akses ke pembiayaan formal masih menjadi batu sandungan. Meskipun pemerintah telah mengucurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan program pembiayaan inklusif lainnya, banyak pelaku usaha kecil merasa kesulitan memenuhi persyaratan administratif.
Belum lagi proses pengajuan yang dianggap rumit dan tidak sesuai dengan realitas keseharian pelaku usaha mikro yang sering kali tidak memiliki legalitas formal maupun jaminan.
Di sektor lain, keterbatasan infrastruktur turut menjadi hambatan. Banyak sentra produksi di desa-desa belum terkoneksi dengan baik ke pusat distribusi atau pasar. Jalan desa yang rusak, akses internet yang belum merata, dan minimnya sarana logistik menyebabkan biaya transaksi membengkak.
Produk rakyat, seperti kerajinan, makanan olahan, atau hasil pertanian organik, sering kali kalah bersaing bukan karena kualitas, melainkan karena terbatasnya efisiensi distribusi.
Persoalan literasi juga tidak bisa diabaikan. Banyak pelaku UMKM belum memahami pentingnya pencatatan keuangan, strategi pemasaran, atau manajemen risiko. Di era digital, rendahnya pemanfaatan teknologi menjadi celah besar. Padahal, peluang pasar digital terbuka lebar.
Berbagai nisiatif bagus yang mengangkat produk UMKM Jawa Tengah melalui media sosial dan platform e-commerce—menunjukkan bahwa ketika pelaku kecil diberi panggung, mereka bisa tumbuh dan berkembang.
Namun, tentu tidak semua pelaku usaha bisa tumbuh secara organik. Perlu ada desain kebijakan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Pendekatan tambal sulam tidak cukup. Penguatan ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai program lintas sektor: pendidikan vokasi, pelatihan kewirausahaan, insentif fiskal, dan penguatan kelembagaan lokal seperti koperasi dan BUMDes.
Menguatkan Sektor Unggulan
Peluangnya ada. Sektor unggulan lokal di Jawa Tengah sangat beragam. Dari pertanian organik di dataran tinggi, industri kreatif berbasis budaya di Solo dan Pekalongan, hingga potensi pariwisata berbasis komunitas di Wonosobo, Magelang, dan Karimunjawa.
Sayangnya, potensi ini sering kali terhambat oleh lemahnya koordinasi antarinstansi. Banyak program berjalan sendiri-sendiri, tanpa kerangka kerja terpadu dan indikator keberhasilan jangka panjang.
Revitalisasi koperasi sebagai salah satu tulang punggung ekonomi rakyat perlu mendapatkan perhatian khusus. Banyak koperasi yang stagnan karena persoalan manajerial dan kepercayaan publik.
Padahal, jika dikelola dengan baik dan profesional, koperasi bisa menjadi lembaga ekonomi yang efektif untuk mengkonsolidasikan kekuatan pelaku usaha mikro, memperkuat posisi tawar, dan menurunkan biaya produksi.
Selain itu, pemerintah daerah perlu memperkuat ekosistem digital yang inklusif. Digitalisasi bukan hanya soal akses internet, tetapi juga soal kurikulum pelatihan yang relevan, penyediaan platform pemasaran yang mudah digunakan, serta perlindungan konsumen dan produsen kecil dari praktik dagang yang tidak adil. Dalam hal ini, kolaborasi dengan startup lokal, universitas, dan pelaku teknologi sangat dibutuhkan.
Salah satu gagasan yang patut didorong adalah pembentukan klaster ekonomi rakyat berbasis potensi lokal. Misalnya, klaster kerajinan bambu di Banyumas, klaster batik tulis di Lasem, atau klaster hortikultura di Temanggung. Klaster ini dapat menjadi wadah bagi pelaku usaha untuk saling belajar, berinovasi, dan mengakses pasar yang lebih luas melalui mekanisme kolektif.
Penting juga untuk menyelaraskan regulasi. Proses perizinan usaha kecil dan mekanisme distribusi bantuan harus disederhanakan. Pemerintah daerah perlu menjadi fasilitator, bukan birokrasi yang memperumit. Pelayanan publik yang cepat dan transparan akan membangun kepercayaan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi.
Penguatan ekonomi kerakyatan sejatinya bukan semata soal pertumbuhan ekonomi, melainkan juga soal keadilan. Ia menjadi jalan tengah antara ekonomi kapitalistik yang eksklusif dan ekonomi negara yang sentralistik.
Dalam ekonomi kerakyatan, rakyat menjadi subjek, bukan objek pembangunan. Mereka diberi ruang untuk tumbuh berdasarkan potensi lokal dan diberi alat untuk bersaing secara sehat.
Dalam konteks Jawa Tengah, penguatan ekonomi kerakyatan bukan hanya menjadi pilihan, tetapi keharusan. Dengan geografi yang luas, budaya yang kaya, dan semangat gotong royong yang kuat, Jawa Tengah punya modal sosial dan ekonomi yang mumpuni. Yang dibutuhkan adalah komitmen politik yang konsisten, kebijakan yang berpihak, dan tata kelola yang berpijak pada data dan kebutuhan nyata masyarakat.
Pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada investasi besar dan infrastruktur fisik tak akan cukup menjawab tantangan ketimpangan. Ekonomi kerakyatan menawarkan jawaban yang lebih mendasar: menumbuhkan dari bawah, memperkuat dari pinggiran, dan menyejahterakan dari komunitas.
Sudah waktunya ekonomi rakyat tidak hanya dijadikan jargon dalam kampanye atau dokumen perencanaan. Ia harus menjadi roh dari kebijakan pembangunan daerah.
Jawa Tengah bisa menjadi model, bukan hanya karena potensinya, tetapi juga karena sejarah panjangnya sebagai laboratorium sosial dan ekonomi di tanah Jawa.(*)
***
*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.