Ketika Pancasila Hanya sebagai Simbol
GH News June 02, 2025 06:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Saya pernah mendengar Sujiwo Tejo berkata di televisi, “Pancasila itu bukan sekadar teks, tapi laku hidup.” Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti tamparan pelan yang membekas. 

Karena kalau kita jujur pada diri sendiri, bukankah selama ini kita memang terlalu sibuk memperdebatkan Pancasila di forum-forum formal, sementara nilai-nilainya tidak benar-benar hidup dalam perilaku sehari-hari?

Kita dengan mudah bisa menyebut sila pertama sampai kelima. Anak sekolah hafal di luar kepala, pegawai negeri mengucapkannya di upacara bendera. Tapi coba tanya, kapan terakhir kali kita benar-benar menjadikan Pancasila sebagai pegangan dalam menyikapi ketimpangan sosial, diskriminasi, atau arogansi kekuasaan? Kapan terakhir kali kita merasa Pancasila hadir di pasar, di jalanan, di dunia maya yang riuh saling membenci?

Barangkali ini soal kebiasaan kita yang terlalu gemar merayakan simbol tanpa menghidupi substansi. Sejak Indonesia merdeka, Pancasila diposisikan sebagai dasar negara. Ia dibacakan, diperingati, diabadikan dalam lambang garuda. 

Tiap tanggal 1 Juni, pidato resmi mengalir deras, seminar dihelat di hotel-hotel berbintang, media sosial dibanjiri kutipan bijak. Tapi setelah itu, hidup kembali ke pola lama. Korupsi tetap jadi tontonan harian, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kesenjangan sosial kian melebar, dan polarisasi politik makin brutal.

Kita menyaksikan Pancasila dipertontonkan di panggung formal, sementara di ruang-ruang sunyi masyarakat, nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial sering ditinggalkan. Di sisi lain, aparat dan elit kekuasaan sibuk mengutip Pancasila saat merasa posisinya terganggu, tapi bungkam ketika rakyat kecil dipinggirkan.

Saya jadi ingat peristiwa-peristiwa di negeri ini. Warga tergusur atas nama pembangunan, kaum miskin kota digusur tanpa solusi. Ketika itu, sila kelima soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seolah menguap. Atau ketika ada diskriminasi atas nama agama, minoritas disudutkan, dan ketegangan antarumat dipelihara demi kepentingan politik. 

Di mana sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab itu berdiri? Inilah ironi kita: Pancasila rajin disebut di podium, tapi absen di lorong-lorong perkampungan dan kebijakan.

Problem kita juga karena Pancasila, meski disebut sebagai ideologi negara, justru tak pernah benar-benar diideologikan. Ia lebih sering diperlakukan sebagai alat legitimasi kekuasaan ketimbang nilai dasar dalam penyusunan kebijakan publik. Coba perhatikan, banyak kebijakan pemerintah justru bertentangan dengan semangat Pancasila.

Dalam soal keadilan sosial, misalnya, ketimpangan ekonomi di Indonesia masih salah satu yang tertinggi di dunia. Data Oxfam mencatat 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Di ranah hukum, indeks persepsi korupsi kita stagnan di angka yang buruk. Hukum lebih tajam menjerat rakyat kecil ketimbang elite politik.

Itulah yang dikritik Sujiwo Tejo. Kita terlalu sibuk memperdebatkan apa tafsir Pancasila yang benar, sambil melupakan bahwa lebih penting bagaimana Pancasila hadir dalam sikap dan kebijakan nyata. Kita boleh saja menyelenggarakan seminar soal persatuan, tapi kalau di media sosial tiap hari sibuk saling ejek karena beda pilihan politik atau beda agama, apa gunanya Pancasila?

Padahal, nilai-nilai Pancasila seharusnya hadir dalam tindakan sehari-hari, di warung kopi, di kampus, di jalanan. Ketuhanan itu bukan soal administrasi agama di KTP, tapi tentang menghormati keyakinan orang lain tanpa merasa superior. Kemanusiaan itu bukan soal slogan HAM di baliho, tapi soal keberanian menolong tetangga yang kesulitan tanpa pamrih.

Persatuan bukan cuma soal menyanyikan lagu Indonesia Raya di stadion, tapi soal keberanian menolak politik adu domba. Musyawarah bukan sebatas sidang formal, tapi soal mendengarkan orang kecil, mereka yang jarang diberi panggung. Dan keadilan sosial bukan sekadar jargon, tapi soal memastikan anak petani di pelosok punya akses pendidikan dan layanan kesehatan yang layak.

Sujiwo Tejo, dengan gaya ngawurnya yang sering dikira bercanda, sebetulnya sedang mengingatkan kita bahwa Pancasila hanya akan jadi mantra kosong kalau tak dihidupi. Saya percaya, Indonesia tidak kekurangan nilai luhur. 

Kita tidak butuh Pancasila baru, tidak perlu membuat versi revisi. Apa yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa itu sudah cukup progresif dan kontekstual. Masalahnya, sejak dulu hingga hari ini, kita terlalu sering gagal menjadikan Pancasila sebagai pegangan hidup bersama.

Di era Orde Baru, Pancasila pernah dijadikan alat kekuasaan dengan tafsir tunggal. Siapa yang berbeda dituduh anti-Pancasila, bahkan bisa dikriminalisasi. Trauma itu membuat generasi setelahnya jadi canggung bicara Pancasila dalam ruang publik yang kritis. Kini, di era digital, Pancasila malah lebih sering jadi bahan candaan atau sekadar caption media sosial.

Padahal kalau kita jujur, Indonesia masih butuh Pancasila tapi yang dihidupi, bukan sekadar diperingati. Kita perlu Pancasila yang hadir dalam kebijakan pro-rakyat, dalam dialog antaragama yang tulus, dalam keberanian melawan ketidakadilan.

Apa yang diucapkan Sujiwo Tejo sebetulnya bukan sekadar kritik, tapi ajakan reflektif. Bahwa selama ini kita mungkin terlalu sibuk menghafal Pancasila, tapi malas menjadikannya pedoman hidup. Kita terlalu sering membicarakannya di mimbar resmi, tapi abai membumikan di jalanan.

Indonesia tak butuh Pancasila baru. Kita hanya perlu keberanian untuk menghidupi nilai-nilai yang selama ini hanya dipajang di dinding-dinding sekolah dan kantor pemerintah. Karena ideologi yang baik bukan yang paling sering diperdebatkan, tapi yang paling nyata terasa manfaatnya bagi rakyat.

Dan semoga, suatu hari nanti, Pancasila bukan cuma ada di buku pelajaran dan pidato seremonial, tapi benar-benar menjadi laku hidup bangsa ini.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.