Pembekuan Visa Pelajar Indonesia di AS: Dampak, Respons, dan Solusi Diplomatik
GH News June 04, 2025 03:03 AM

TIMESINDONESIA, MALANG – Belakangan ini, sejumlah mahasiswa Indonesia yang hendak melanjutkan studi di Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada kendala tak terduga: visa pelajar mereka ditangguhkan atau bahkan dibatalkan tanpa penjelasan rinci. Fenomena ini memicu kekhawatiran di kalangan pelajar, orang tua, dan pemerintah Indonesia. Lantas, apa sebenarnya yang melatarbelakang kebijakan AS ini, bagaimana dampaknya bagi mahasiswa, dan upaya apa yang bisa dilakukan untuk mencari solusi?

Pemerintah AS dikenal ketat dalam mengawasi pemberian visa pelajar, terutama sejak beberapa tahun terakhir. Kebijakan ini tidak lepas dari kekhawatiran AS terhadap potensi penyalahgunaan visa untuk tujuan non-akademik, termasuk transfer teknologi sensitif atau pelanggaran keamanan nasional. Bidang studi seperti kedirgantaraan, teknologi nuklir, kecerdasan buatan (AI), dan pertahanan menjadi sorotan utama karena dianggap berpotensi digunakan untuk kepentingan militer atau industri strategis.

Selain itu, AS juga menerapkan aturan yang lebih ketat terhadap mahasiswa asing yang memiliki koneksi dengan institusi tertentu, seperti universitas atau perusahaan yang diduga terkait dengan program militer negara lain. Meskipun Indonesia bukan target utama, beberapa mahasiswa Indonesia yang mengambil jurusan terkait STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) atau pernah bekerja di BUMN strategis seperti PT Dirgantara Indonesia, LAPAN, atau BPPT bisa terkena imbas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Faktor lain yang turut berpengaruh adalah perubahan kebijakan imigrasi AS di bawah pemerintahan Biden, yang meskipun lebih longgar dibanding era Trump, tetap mempertahankan pengawasan ketat di bidang keamanan nasional. Kasus-kasus sebelumnya, seperti pembatalan visa mahasiswa China karena Proclamation 10043, menunjukkan bahwa AS tidak segan membatasi akses pelajar asing jika dianggap berisiko.

Bagi mahasiswa Indonesia yang sudah berada di AS, penangguhan visa bisa berarti ketidakpastian status hukum. Mereka yang sedang menempuh studi tiba-tiba terancam tidak bisa memperpanjang visa atau bahkan harus pulang sebelum menyelesaikan pendidikan. Beberapa kampus memang memberikan bantuan melalui Office of International Students, namun solusinya seringkali terbatas karena kebijakan ini berasal dari pemerintah federal AS.

Sementara bagi calon mahasiswa yang baru akan memulai studi, dampaknya lebih serius. Proses administrative processing yang seharusnya memakan waktu beberapa minggu bisa molor hingga berbulan-bulan, mengakibatkan tertundanya perkuliahan. Bahkan, beberapa pelajar melaporkan visa mereka ditolak tanpa alasan jelas, padahal sudah dinyatakan diterima di universitas ternama AS. Hal ini tentu merugikan secara finansial dan akademis, mengingat persiapan seperti pembayaran tuition deposit, pencarian tempat tinggal, dan pembelian tiket pesawat sudah dilakukan.

Di sisi lain, pembatasan ini juga memengaruhi reputasi AS sebagai destinasi pendidikan global. Jika kebijakan ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan mahasiswa Indonesia akan beralih ke negara lain seperti Australia, Kanada, atau Eropa yang dinilai lebih ramah terhadap pelajar internasional.

Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan KBRI Washington telah melakukan sejumlah langkah. Pertama, KBRI aktif berkoordinasi dengan otoritas AS untuk meminta kejelasan alasan pembekuan visa serta memperjuangkan kepentingan mahasiswa Indonesia. Kedua, pemerintah juga menggalang dukungan dari universitas-universitas AS agar memberikan bantuan hukum dan administratif bagi mahasiswa yang terdampak.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain itu, Kemenlu RI melalui Direktorat Perlindungan WNI dan BHI (Badan Hukum Internasional) memberikan konseling dan pendampingan bagi pelajar yang mengalami kendala visa. Beberapa langkah praktis seperti memastikan dokumen akademik dan finansial lengkap serta menghindari bidang studi yang berpotensi "red flag" juga disosialisasikan kepada calon pelajar.

Namun, upaya ini masih terbatas karena kebijakan visa sepenuhnya berada di bawah kewenangan pemerintah AS. Oleh karena itu, diplomasi intensif diperlukan untuk memastikan mahasiswa Indonesia tidak dirugikan secara tidak adil.

Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan diplomasi yang tepat harus dilakukan. Pertama, pemerintah Indonesia bisa memperkuat dialog bilateral dengan AS melalui jalur pendidikan dan perdagangan. Misalnya, dengan menegaskan bahwa Indonesia bukan ancaman keamanan bagi AS dan bahwa mahasiswa Indonesia datang dengan niat murni akademis.

Kedua, kolaborasi antara pemerintah dan asosiasi universitas di AS bisa ditingkatkan. Jika kampus-kampus AS turut mendorong kelonggaran kebijakan visa, pemerintah federal mungkin akan lebih terbuka untuk mengevaluasi aturan yang ada.

Pembekuan visa pelajar Indonesia di AS adalah masalah kompleks yang melibatkan faktor keamanan, politik, dan akademik. Dampaknya sangat nyata bagi mahasiswa, baik yang sudah di AS maupun yang baru akan memulai studi. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah responsif, namun diplomasi yang lebih strategis dan kolaboratif diperlukan agar kebijakan AS tidak merugikan mahasiswa Indonesia yang memiliki niat belajar sah. Dengan pendekatan tepat, diharapkan kerja sama pendidikan antara Indonesia dan AS tetap berjalan baik, tanpa mengorbankan kepentingan keamanan maupun akademik kedua negara. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.