Ahli UGM Jelaskan Proses Hukum Hasto Bukan 'Daur Ulang' Kasus
kumparanNEWS June 05, 2025 04:20 PM
Ahli Hukum Pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, menjelaskan bahwa proses hukum yang dilakukan KPK terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bukan merupakan proses daur ulang kasus.
Hal itu disampaikan Fatahillah saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku, yang menjerat Hasto sebagai terdakwa, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6).
Mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menanyakan pendapat ahli apakah memungkinkan dilakukan penetapan tersangka baru lewat pengembangan dari penyidikan kasus sebelumnya.
"Jadi ada fakta hukum baru yang ditemukan oleh penyidik yang belum terungkap pada saat di persidangan perkara yang terdahulu. Nah dalam konteks hukum pidana, apakah hal ini dimungkinkan gitu?" tanya jaksa KPK dalam persidangan, Kamis (5/6).
"Jadi, ketika sudah disidangkan, ternyata dalam proses penyidikan ditemukan fakta baru, ada alat bukti baru, ternyata ada pelaku lain dari tindak pidana yang sudah inkrah ini. Nah, bagaimana pendapat ahli?" lanjut jaksa.
Fatahillah kemudian menjelaskan dalam pemeriksaan perkara pidana, memang selalu ditemukan fakta-fakta baru yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan pengembangan kasus.
Menurutnya, aparat penegak hukum (APH) pun dapat memproses pihak lain yang diduga turut terlibat dalam perkara yang sudah inkrah dengan melakukan pengembangan penyidikan.
"Jadi, ketika ditemukan fakta-fakta baru dan lain sebagainya, maka pemeriksaan itu bisa dilakukan kembali untuk orang yang belum pernah diproses, karena kalau misalnya dia sudah pernah diproses nanti kan kita bicara pasal ne bis in idem," ujar Fatahillah.
"Tapi, ketika dia belum pernah, maka berkaitan dengan Pasal 76 [KUHP] kita berbicara perbuatan pidana, seorang tidak boleh dituntut atas perbuatan pidana yang sama dua kali. Maka, terhadap orang yang sama, pelaku yang sama, subjek, dan locus dan tempus delicti yang sama tidak boleh dilakukan," papar dia.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto jelang sidang lanjutan kasus dugaan suap komisioner KPU RI dan perintangan penyidikan Harun Masiku, yang menjeratnya sebagai terdakwa, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto jelang sidang lanjutan kasus dugaan suap komisioner KPU RI dan perintangan penyidikan Harun Masiku, yang menjeratnya sebagai terdakwa, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Jaksa lalu menanyakan pendapat Fatahillah terkait pembuktian perkara pengembangan tersebut dalam proses persidangan, apakah terikat dengan fakta hukum yang telah dituangkan di dalam pertimbangan hakim pada putusan perkara yang sudah inkrah.
Fatahillah pun menjelaskan bahwa hal itu menjadi kewenangan hakim untuk menilai fakta-fakta yang muncul di persidangan perkara tersebut.
"Bagaimana misalkan terkait ada kasus yang di-splitsing, terkait kasus yang di-splitsing pun, itu tetap melekat kepada pemeriksaan, walaupun sudah ada yang putusannya inkrah terlebih dahulu, bahkan putusan berkekuatan hukum tetap, tapi kewenangan majelis hakim untuk menilai tentang fakta-fakta yang dihadirkan dalam persidangannya itu juga, masih ada dan masih relevan," ucap Fatahillah.
"Bisa dijadikan, tetap keterangan saksi, keterangan ahli dan lain sebagainya, yang diperiksa di dalam persidangan itulah yang mengikat bagi hakim untuk memutus perkara," jelasnya.
Lebih lanjut, jaksa menanyakan pendapat Fatahillah ihwal beban pembuktian yang mesti dilakukan terhadap terdakwa baru dalam perkara yang sama. Pasalnya, kata jaksa, perbuatan terdakwa yang baru dijerat sama dengan perbuatan terdakwa lain dari perkara sebelumnya yang sudah inkrah.
"Tentu kan akan mempunyai kewajiban bagi kami untuk menghadirkan alat bukti yang sama juga, kan seperti itu. Keterangan saksi, alat bukti petunjuk, surat, seperti itu," tutur jaksa.
"Apakah persidangan itu bisa dikatakan seperti 'daur ulang' gitu? Atau memang secara proses hukum pidana ya memang prosesnya harus seperti itu gitu, jadi alat bukti yang harus dihadirkan di persidangan tentunya harus sama karena perbuatannya sama, seperti itu. Bagaimana pendapat ahli?" tanya jaksa.
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
Menurut Fatahillah, hal itu hanya berbeda dari segi waktu pelaksanaan persidangan saja. Dengan begitu, lanjutnya, alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan pun masih dapat diterapkan.
"Kalau itu secara sederhananya mungkin ini karena perbedaan waktunya, tapi kalau berdasarkan Pasal 142 [KUHAP] tentang kewenangan Penuntut Umum untuk memisahkan perkara, itu kan memang ketika ada tiga orang melakukan perbuatan pidana yang sama maka untuk ketiga orang tersebut ketika di-split pun, alat bukti, saksi, dan lain sebagainya, dapat diterapkan, digunakan yang sama terhadap ketiga-tiganya," kata Fatahillah.
"Hanya perbedaan saja ketika ada waktu yang berbeda. Misalkan satunya sudah inkrah atau tidak, itu kan. Yang kemudian, itu kan tetap kemudian akan diproses hukum," pungkasnya.

Kasus Hasto

Dalam kasusnya, Hasto didakwa menyuap komisioner KPU RI dalam proses Pergantian Antarwaktu (PAW) dan merintangi penyidikan kasus Harun Masiku.
Dalam perkara dugaan suap, Hasto disebut menjadi pihak yang turut menyokong dana. Suap diduga dilakukan agar Harun ditetapkan sebagai anggota DPR melalui proses PAW.
Caranya, adalah dengan menyuap komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan. Nilai suapnya mencapai Rp 600 juta.
Suap itu diduga dilakukan oleh Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Harun Masiku, dan Saeful Bahri. Suap kemudian diberikan kepada Agustiani Tio dan juga Wahyu Setiawan.
Sementara itu, terkait dengan perkara dugaan perintangan penyidikan, Hasto disebut melakukan serangkaian upaya seperti mengumpulkan beberapa saksi terkait Masiku dengan mengarahkan para saksi itu agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.
Tidak hanya itu, pada saat proses tangkap tangan terhadap Masiku, Hasto memerintahkan Nur Hasan—seorang penjaga rumah yang biasa digunakan sebagai kantornya—untuk menelepon Masiku supaya merendam HP-nya dalam air dan segera melarikan diri.
Kemudian, pada 6 Juni 2024, atau 4 hari sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi terkait Masiku, ia juga memerintahkan stafnya yang bernama Kusnadi untuk menenggelamkan HP milik Kusnadi agar tidak ditemukan oleh KPK.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.