TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait bersikukuh ingin mengurangi minimal luas tanah dan bangunan rumah subsidi.
Pria yang akrab disapa Ara ini menilai perubahan kebijakan adalah hal yang wajar selama tujuannya untuk kepentingan rakyat.
Ara mengklaim sudah ada berbagai kebijakan pro-rakyat yang ia dorong seperti penghapusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Lalu ada juga pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) dari Bank Indonesia menjadi empat persen.
"Kenapa sih kita takut berubah? Tapi yang paling kepentingan untuk siapa? Untuk rakyat atau enggak? Tentu kita mesti dengar rakyatnya juga. Rakyat kita dengar. Itulah menurut saya model kebijakan publik yang bijaksana," katanya ketika ditemui di kantor Kementerian PKP, Wisma Mandiri 2, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (6/6/2025).
Ara kemudian menyinggung bagaimana Presiden Prabowo Subianto juga tidak takut mengubah peraturan.
Ia mencontohkan bagaimana perubahan Undang-Undang BUMN membuka jalan bagi pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara).
"Undang-undang BUMN berubah untuk Danantara supaya semua tersentral di situ. Keuangan dan aset negara supaya lebih efektif dan efisien. Saya belajar sama Presiden Prabowo kita enggak boleh takut berubah," ujar Ara.
Ara memandang tidak ada yang salah dengan perubahan regulasi selama itu berpihak pada masyarakat.
Ia menyebut Undang-Undang Dasar 1945 juga telah mengalami amandemen beberapa kali.
"Yang penting berubahnya itu untuk kepentingan negara dan rakyat Indonesia. Undang-undang bisa direvisi. Undang-undang dasarnya berapa kali diamandemen. Untuk apa? Untuk kepentingan rakyat dan negara. Jadi jangan takut berubah gitu," katanya.
Ia mewajari adanya pro kontra terhadap rencana ini. Maka dari itu, pihak yang menolak rencana pengurangan minimal luas tanah dan bangunan rumah subsidi ini akan ia aja diskusi bersama.
Ara juga akan berdiskusi dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) terkait Standar Nasional Indonesia (SNI) sebuah rumah.
"Ya kita dengarkan dan bicarakan. Pengembang menolaknya kenapa, siapa yang menolak, alasannya apa. Ada aturan. Kita diskusi sama BSN. Soal SNI kita diskusi. Makanya kita mendengarkan masukan," ucap Ara.
Sebagai informasi, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) berencana mengurangi batasan minimal luas rumah subsidi.
Rencana itu tertuang dalam draf aturan terbaru yang beredar dan sedang dirancang, berupa Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Perumahan Kredit/Pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Apabila dibandingkan dengan aturan yang berlaku sebelumnya, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023, batas minimal luas tanah dan luas bangunan rumah subsidi terlihat berkurang.
Minimal luas tanah dari 60 meter persegi berkurang menjadi 25 meter persegi. Sementara minimal luas bangunan 21 meter persegi berkurang menjadi 18 meter persegi.
Sedangkan batas maksimal luas rumah subsidi masih tetap. Luas tanah maksimal 200 meter persegi dan luas bangunan maksimal 36 meter persegi.