Oposisi Kian Melemah, Partai Kartel Kian Menguat
Beckham Jufian Podung June 08, 2025 05:40 PM
Peringatan hari Pancasila pada 2 Juni 2025 dianggap sebagai momen unik. Untuk pertama kalinya sejak terpilih sebagai Presiden, Prabowo Subianto terlihat merayakan hari peringatan lahirnya Pancasila bersama Presiden RI-5 sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Momen itu segera mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan masyarakat termasuk para pengamat politik. Setelah bertemu secara tertutup pada beberapa waktu yang lalu, kali ini di peringatan hari kelahiran Pancasila kedua tokoh bangsa ini bertemu secara formal.
Berbagai kalangan banyak yang merespon positif makna dibalik pertemuan kedua tokoh itu, sebab keduanya baik Prabowo Subianto maupun Megawati Soekarnoputri pada perhelatan Pemilihan Presiden 2024 berada di posisi politik yang berbeda satu sama lain.
Selain itu, sejak dilantiknya Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024 yang lalu, hampir semua partai telah menyatakan mendukung pemerintahan Prabowo Subianto. Namun, sampai sekarang hanya PDIP sebagai partai pemenang Pemilihan Legislatif 2024 yang belum menyatakan sikapnya untuk berada di dalam atau di luar pemerintahan Prabowo Subianto.
Momen hangat pertemuan keduanya pada 2 Juni 2025 digadang-gadang sebagai "tanda" merapatnya PDIP ke dalam pemerintahan Prabowo Subianto. Akan tetapi meski mendapat respon yang cukup positif dibalik pertemuan kedua tokoh bangsa tersebut, tersimpan potensi berbahaya di dalamnya.
Potensi bahayanya yaitu jika PDIP menyatakan bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo Subianto maka bisa dipastikan semua partai parlemen kini untuk pertama kali dalam sejarah sistem presidensial berada dalam koalisi pemerintahan, sebaliknya itu berarti komposisi oposisi di parlemen kosong.
Sebelumnya, sejak zaman SBY dan Jokowi, meski koalisi gemuk selalu terbentuk, akan tetapi biasanya ada beberapa partai meski perolehan suaranya kecil tetapi secara politik berada di seberang koalisi pemerintahan atau dikenal dengan istilah oposisi.
Munculnya Fenomena Partai Kartel di Indonesia
Terbentuknya koalisi super gemuk ini dalam diskursus ilmu politik dikenal dengan istilah partai kartel. Fenomena partai kartel bukan fenomena baru di Indonesia bahkan di seluruh dunia.
Belakangan ini banyak partai yang kelihatannya bersaing ketika pemilihan dimulai demi mengartikulasikan berbagai kepentingan kolektif yang berbeda tiap partai akan tetapi persaingan ini berakhir ketika pemilihan selesai dan partai secara perlahan melepas kepentingan kolektif mereka masing-masing.
Dalam studi kepartaian, istilah partai kartel mengandung konotasi negatif sebab penyebab partai kartel menurut studi Kuskridho Ambardi ditengarai karena partai wajib menjaga kelangsungan hidup kolektif mereka, salah satunya yaitu dengan mengakses sumber daya negara.
Dalam sistem kartel, partai menanggalkan ideologi mereka dan bergabung dengan berbagai kepentingan yang lain. Sehingga jelas bahwa semakin terkartelisasi sebuah partai maka semakin sulit mengidentifikasi ideologi partai tersebut.
Dalam studi mengenai partai kartel, Kuskridho Ambardi menjelaskan bahwa ada lima ciri partai kartel utamanya dalam konteks Indonesia yaitu: (1). Hilangnya peran ideologi partai sebagai penentu perilaku koalisi partai; (2). Sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3). Tiadanya oposisi; (4). Hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; (5). Kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Implikasi Sistem Kartel
Menguatnya partai kartel di Indonesia pada dasarnya berdampak pada fungsi kekuasaan legislatif itu sendiri. Secara umum ada tiga fungsi kekuasaan legislatif yakni: (1). Legislasi; (2). Anggaran; (3). Pengawasan.
Dalam sistem kartel, ketiga fungsi ini berpotensi melemah khususnya fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan erat kaitannya dengan fungsi check and balances power. Tanpa itu tidak ada mekanisme pengawasan formal dalam pengelolaan kekuasaan. Apapun keinginan pemimpin koalisi bisa dengan mulus berjalan tanpa hambatan.
Dengan demikian, sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan wajib diawasi, tanpa mekanisme pengawasan, kekuasaan cenderung korup. Kuatnya tren pembentukan koalisi kartel berpotensi melemahkan fungsi pengawasan parlemen. Tanpa fungsi itu, kekuasaan yang korup sangat mungkin terjadi.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.