Teknologi yang Berkembang Masif Mengubah Budaya Kita
Darwin Tandjo June 08, 2025 06:20 PM
Saya masih ingat jelas momen pertama kali mengenal teknologi secara nyata, pada saat itu saya duduk di bangku Sekolah Dasar dan saya cukup beruntung dimana teman-teman masih menggunakan "warnet" atau warung internet, saya sudah bisa menggunakan laptop sendiri bahkan iPad. Benda pipih berlayar sentuh itu tampak seperti benda ajaib, dengan sekali sentuh, dunia bisa terbuka karena semuanya ada di satu layar. Dari situ, benih ketertarikan terhadap teknologi mulai tumbuh dan awal dari perkembangan teknologi yang masif dimulai.
Hari ini, saya hidup sudah di tengah zaman yang berbeda 180 derajat, yaitu era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Dulu dimana saya sekadar mengetik dan menggambar di iPad, kini saya bisa berdialog dengan mesin yang mampu berpikir, menulis, bahkan menciptakan gambar atau musik. Perjalanan ini bukan hanya soal inovasi teknis, tetapi juga perubahan budaya yang mendalam.
Dulu, teknologi hanya berfungsi sebagai alat bantu dalam membantu belajar, bermain, mengakses informasi, dan berkomunikasi. Namun kini, perannya lebih dari itu. AI kini menjadi semacam partner, bukan sekadar alat. Kita dapat menyuruh AI menulis draf esai, menganalisis data, bahkan membuat keputusan hidup yang terbatas. Teknologi bukan lagi sekadar "alat", tetapi aktor yang aktif dalam kehidupan kita. Tetapi hal ini berpotensi untuk menjadi ancaman bagi individu yang tidak mampu beradaptasi dan menggunakannya.
Transformasi ini juga telah mengubah budaya masyarakat. Dulu, komunikasi identik dengan bertatap muka. Sekarang, kita lebih sering berkomunikasi lewat teks, emoji, atau bahkan avatar AI. Budaya kerja pun berubah dengan adanya rapat daring, kerja jarak jauh, dan automasi proses menjadi hal biasa. Transformasi ini juga mengubah anak muda menjadi "brainrot" atau penurunan kualitas pemikiran otak yang diakibatkan oleh konten media sosial yang semakin "receh" atau berkualitas rendah.
Di sisi lain, kehadiran AI juga menimbulkan tantangan etis dan sosial. Apakah manusia akan tergantikan? Apakah kreativitas akan menjadi milik mesin? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi diskursus baru dalam masyarakat yang semakin digital.
Dunia masa kini menuntut generasi muda memiliki literasi digital dan etika teknologi. Tak cukup hanya bisa mengoperasikan gawai, kita harus bisa berpikir kritis terhadap dampak sosial dari teknologi. Misalnya, bagaimana kita memfilter informasi yang diproduksi oleh AI? Bagaimana kita menjaga privasi dan keamanan data?
Sekolah dan institusi pendidikan saat ini mau tak mau harus perlahan mulai menyesuaikan kurikulum. Ada yang mengajarkan coding sejak dini, bahkan ada yang memasukkan AI dan etika digital sebagai bagian dari pelajaran. Pastinya teknologi ini harusnya menjadi teman pendidikan bukan sebaliknya atau lebih berbahayanya mengabaikan teknologi saat ini dan bertahan di status quo.
Melihat kembali perjalanan dari mengenal iPad hingga hidup di tengah gempuran AI, saya menyadari bahwa teknologi bukan hanya soal inovasi, tapi juga soal adaptasi budaya dan nilai-nilai. Kita harus belajar hidup berdampingan dengan teknologi, tanpa kehilangan sisi manusiawi kita. Teknologi akan terus berkembang, dan AI akan semakin cerdas. Tapi pertanyaannya pentingnya adalah bisakah kita tetap menjadi manusia yang bijak, kritis, dan penuh empati di tengah kecanggihan mesin? Diharapkan pertanyaan ini dapat kita jawab sendiri dengan keterbukaan dan kerendahan hati.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.