Musk vs. Trump: ketika Teknologi Mulai Bicara dan Menolak Jadi Alat
Irene Kusuma Palmarani June 09, 2025 06:05 PM

Dunia politik identik dengan negara sebagai aktor utama. Ia membuat kebijakan, menetapkan pajak, mengatur siapa boleh bicara dan siapa tidak. Namun, perlahan aktor baru muncul dari balik layar algoritma dan satelit, yaitu teknologi itu sendiri. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, teknologi tidak hanya menjadi alat di tangan manusia namun menjadi aktor politik. Hal ini terlihat dalam sosok Elon Musk yang bertindak bukan sekadar pebisnis atau inovator, tetapi simbol dari teknologi yang melampaui kekuasaan, menegosiasi, bahkan menantang negara. Di Amerika Serikat 2024–2025, kolaborasi Musk dan Trump melalui proyek Digital Economy and Governance Order (DEGO) menggambarkan pergeseran kekuasaan ini.

DEGO: Bentuk Kolaborasi Teknologi dan Politik
DEGO menawarkan satu gagasan bahwa negara seharusnya tidak lagi menjadi penentu tunggal dalam ekonomi digital. Salah satu poin utamanya adalah digitalisasi layanan publik secara total yang disebut auto-governance. Sistem ini memproses pengambilan keputusan administratif yang diolah, dievaluasi, dan dieksekusi oleh AI. Kolaborasi Musk dan Trump ini juga menyasar perampingan birokrasi dengan memberhentikan banyak pegawai pemerintahan.
Menurut laporan dari Brookings Institution, dalam enam bulan pertama DEGO, proses perizinan digital memangkas waktu rata-rata 60% dan menurunkan beban operasional negara sebesar USD 11,2 miliar. Namun demikian, dibalik efisiensi dan inovasi yang ditawarkan, DEGO juga membuka jalan bagi kekuatan teknologi untuk menjadi penentu arah tata kelola digital pemerintahan. Musk menjadi tokoh yang lebih dari sekadar mitra pemerintah, namun juga pelaksana sekaligus perancang sebagian dari infrastruktur negara.
Bagi banyak orang, kondisi ini membingungkan. Sejak kapan seorang pengusaha bisa menyusun ulang aturan main ekonomi nasional? Namun, hal ini juga dapat dilihat sebagai bentuk baru kekuasaan dimana aktor non-negara, yaitu teknologi yang dimediasi oleh Musk, mulai memainkan peran politik secara langsung.
Overhold: saat Teknologi Tidak Mau Diatur
Kolaborasi Musk dan Trump tidak selamanya manis. Ketika pemerintahan menerapkan One Big Beautiful Bill (OBBB), yang merupakan paket legislatif unggulan Trump 2025 termasuk klausul fiskal Fair Burden Act (FBA) di dalamnya, dinamika kolaborasi tersebut berubah drastis. FBA ini dirancang sebagai respon atas meningkatkan ketimpangan pendapatan akibat ekonomi digital dengan prinsip redistributif teknologi. Terdapat pemindahan beban pajak dari individu pekerja ke korporasi teknologi besar sehingga korporasi ini dikenai pajak progresif terhadap aktivitas digital lintas negara.
Musk memberikan respon yang agresif atas kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini sebagai bentuk balas dendam dari negara terhadap teknologi yang memberikan efisiensi. Dalam pidatonya di Global Innovation Forum tahun ini, Musk menegaskan bahwa pemerintah tidak punya hak untuk mengenakan pajak pada sesuatu yang tidak mereka bantu bangun. Bahkan, ia mengancam akan memutus integrasi sistem pembayaran mandiri dari Federal Digital Dollar (FDD). Musk juga menyatakan bahwa negara adalah entitas lamban yang tidak mampu mengikuti kecepatan inovasi.
Fenomena inilah yang disebut dengan overhold, di mana teknologi melalui sosok Musk, menolak untuk dikendalikan oleh logika fiskal negara. Ia menciptakan sistem, jaringan ekonomi, dan arah politiknya sendiri. Musk melihat negara menghambat inovasi, sementara negara menilai Musk sebagai bentuk baru dari kapitalisme. Ketegangan Musk dan Trump masih berlangsung hingga saat ini.
Melihat Teknologi sebagai Aktor
Pandangan techno-realism mengakui bahwa teknologi bukanlah sekedar alat bantu atau produk yang netral. Ia menjadi aktor dalam arti penuh yang bisa mempengaruhi, membentuk, dan mendefinisikan ulang hubungan kekuasaan.
Dalam konteks ini, Musk tidak hanya menjadi contoh inovator atau pebisnis yang berpengaruh, tetapi sebagai representasi teknologi yang bertindak sebagai agen politik. Sistem AI-nya, seperti Grok (xAI), telah digunakan dalam penyusunan kebijakan berbasis data oleh sejumlah negara bagian di AS. Sementara jaringan Starlink juga telah menjadi infrastruktur komunikasi utama lembaga-lembaga federal setelah terjadinya serangan siber pada tahun 2024. Lewat dominasi satelit Starlink dan AI, Musk telah menciptakan loyalitas publik digital berpindah dari institusi negara ke aplikasi.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa teknologi sudah menjadi pemain aktif dalam konteks kekuasaan. Ketika negara memutuskan menaikkan pajak pada industri teknologi untuk menyeimbangkan keadilan fiskal, Musk melawan dan menantangnya. Salah satu bentuk perlawanannya berupa migrasi infrastruktur digital. Di titik inilah relasi kuasa bergeser. Negara bukan lagi menjadi pusat dan teknologi tidak hanya menjadi alat dari kekuasaan, namun ia menjadi kekuasaan itu sendiri. Teknologi menjadi aktor aktif yang punya posisi dan kehendak melalui desain, sistem, dan kepemilikannya. Ia dapat membentuk kebijakan, menciptakan norma, bahkan menentang otoritas politik.
Pentingnya Melihat Oleh dan Untuk Siapa Kekuasaan Digunakan
Konflik antara negara dan teknologi ini menjadi kompleks. Dalam kondisi aktor-aktor digital semakin memiliki kekuasaan sebagai pengendali, maka masa depan tidak hanya diserahkan kepada negara atau pasar, ataupun pada pengembang teknologi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendesak bukan hanya tentang siapa yang memegang kekuasaan, namun bagaimana kekuasaan itu bekerja, dibatasi, dan dipertanggungjawabkan.
DEGO telah memperlihatkan bahwa masa depan digital bisa dirancang tanpa negara. Bagi Amerika Serikat, kondisi ini menjadi sebuah penanda penting. Masyarakat sipil saat ini lebih mempercayai solusi berbasis platform daripada prosedur pemerintahan konvensional. Negara menghadapi disrupsi di semua sektor. Teknologi telah menjadi alternatif yang dianggap lebih cepat, lebih efisien, dan lebih relevan. Namun, apakah ini berarti lebih adil dan terbuka?
Di sisi lain, teknologi juga tidak semata-mata melampaui kekuasaan yang ada. Ia harus dinegosiasikan ulang secara transparan dan partisipatif. Jika tidak, masa depan bukan lagi menjadi milik warga negara, melainkan milik mereka yang memiliki kekuasaan atas satelit dan kekuatan teknologi. Hal ini disebut dengan feodalisme digital, di mana kekuasaan tidak lagi diwariskan melalui dinasti tetapi melalui teknologi digital.
Techno-realism memberikan pemikiran kepada kita bahwa ketika dunia digerakkan oleh teknologi dan modal, kita tidak boleh berhenti bertanya siapa yang memegang kendali dan untuk siapa kekuasaan itu digunakan. Bukan untuk menolak teknologi, tapi untuk memahami munculnya bentuk kekuasaan baru dan masyarakat harus ikut serta dalam menegosiasikannya, tidak hanya sebagai pengguna tetapi sebagai penentu arah masa depan digital.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.