TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi singgungan yang dilayangkan kubu terdakwa Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di persidangan.
Sebelumnya, berdasarkan keterangan ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah, pengacara Hasto, Febri Diansyah, menyinggung ihwal penyadapan yang dilakukan KPK tanpa seizin Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, sentilan yang dilayangkan kubu Hasto merupakan dinamika dalam persidangan.
Secara subjektif, kata Budi, masing-masing pihak, baik penasihat hukum terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU) memandang keterangan ahli dari sudut yang berbeda.
Budi mengatakan, seluruh tindakan penyidikan di antaranya penyadapan dan tindakan lainnya terkhusus dengan upaya paksa yang dilakukan, di antaranya penggeledahan, penyitaan, dan penahanan, tentunya dilakukan penyidik secara berhati-hati dengan mengedepankan penghormatan atas hak asasi manusia.
Oleh karena itu, menurut Budi, apabila masih ada pihak-pihak yang berpandangan bahwa tindakan penyidik keliru, maka tersedia saluran untuk menggugat, yaitu dengan cara mengajukan praperadilan.
"Pun dalam perjalanannya jika dianggap pelaksanaan kegiatan tersebut dipandang ada kekeliruan dapat diuji melalui gugatan praperadilan," katanya.
Budi menuturkan, penuntut umum dalam menjalankan tugasnya di persidangan memiliki strategi dalam rangka meyakinkan majelis hakim atas perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Sehingga nantinya majelis hakim dapat menyimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan rasuah
"Perbedaan dalam menangkap, menafsirkan serta menyimpulkan keterangan yang muncul di persidangan, itu adalah dinamika yang tentunya kelak akan dituangkan dalam kesimpulan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam persidangan," katanya.
"Yaitu surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukumnya melalui pleidoi dan majelis hakim dalam putusannya," ujar Budi.
Diberitakan, ahli hukum pidana dari UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, menyatakan, hasil penyadapan menjadi tidak sah sebagai alat bukti bila diperoleh penyidik KPK tanpa seizin Dewas KPK.
Fatahillah menyampaikan itu saat dihadirkan jaksa KPK menjadi ahli dalam sidang kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku yang menjerat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Fatahillah menjelaskan, tidak sahnya hasil penyadapan berlaku jika diperoleh dalam kurun waktu di bawah periode 2021 atau tepatnya setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur perihal penyadapan diubah harus seizin dewas.
"Berarti setelah putusan MA, ke depan, enggak perlu lagi penyadapan KPK izin Dewas begitu ya?" tanya kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025).
"Tapi perlu memberitahukan," jawab Fatahillah.
Dosen UGM ini pun menyampaikan bahwa jika hasil penyadapan diperoleh sebelum MK membatalkan undang-undang tersebut, maka, penyidik mesti mengantongi izin.
"Ya seharusnya mendapatkan izin ya," kata Fatahillah menjelaskan.
"Kalau tidak ada izin dewas sah enggak bukti penyadapan itu?" tanya Febri menimpali.
"Mungkin dalam konteks ini kalau tidak menggunakan izin tersebut ya tidak sah," jawab Fatahillah.
Fatahillah bilang, penyidik KPK mesti tunduk dengan aturan yang mengatur proses penyadapan.
Hal ini diperlukan supaya alat bukti yang diperoleh bisa digunakan secara sah.
"Tadi kan disebut KPK berwenang melakukan penyadapan di tahap penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya. Kalau penyelidikannya dilakukan sejak tanggal 20 Desember tahun 2019, sementara Undang-Undang 2019 ini diundangkan pada 17 Oktober 2019, artinya sebelumnya. Wajib tunduk enggak proses penyadapan yang dimulai di penyelidikan 20 Desember dengan undang-undang ini, undang-undang KPK?" cecar Febri.
"Ya kalau dia dimulainya setelah undang-undang KPK, ya tunduk," kata Fatahillah.
Dalam perkara ini, Hasto didakwa turut menyuap anggota KPU Wahyu Setiawan agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR lewat mekanisme PAW.
Wahyu, Harun, dan dua orang lainnya langsung ditetapkan sebagai tersangka setelah rangkaian OTT tersebut.
Namun, Hasto yang lolos dari OTT baru ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2024, hampir 5 tahun setelah OTT terjadi.