Lima perusahaan menggarap tambang nikel di Nirwana terakhir Indonesia, Raja Ampat, Papua. GN, KSM, ASP, MRP, dan satu lagi segera diketahui namanya, ASP milik investor China.
Namun, yang miris, GN adalah anak perusahaan negara, atau BUMN, Aneka Tambang, dan cucu dari holding BUMN Pertambangan PT Persero Inalum. Izin penambangan terbuka dimiliki sejak 2017, pada era pemerintahan sebelum ini.
"Gara-gara" ekspose Greenpeace Indonesia, LSM, jenis organisasi yang belakangan ditunjuk-tunjuk hidungnya sebagai "biang keributan" dan "membuat pembangunan terganggu", maka rahasia itu pun terkuak lebar. Bukan hanya masyarakat Papua yang marah, rakyat Indonesia pun marah, bahkan juga masyarakat dunia.
Pada buku saya Public Policy (edisi 8, 2025) dengan semampu saya, saya katakan bahwa pemerintah -sebagai otoritas pembuat kebijakan- perlu tahu bahwa tidak ada satu hak pun, bahwa tidak ada satu alasan pun, bagi pemerintah yang menyatakan dirinya sebagai pemerintah yang baik dan bertanggung jawab, untuk menciptakan dan mendeliver kepada rakyatnya poor policy, bad policy, apalagi corrupt policy.
Malang, kebijakan memberikan izin penambangan di last heaven of Indonesia ini adalah kebijakan yang "melampauinya"; ini adalah kebijakan yang jahat, "evil policy".
Tiga Penyebab Mematikan
Penyebab pertama adalah kebutuhan akan pertumbuhan. Sejak lama kita mengetahui, setiap pemerintah di negara berkembang berlomba memamerkan pertumbuhan ekonominya. Semakin tinggi, semakin patut dipamerkan sebagai prestasi terbaik dari yang terbaik.
Ada yang menggunakan cara-cara yang bertanggung-jawab dan tahu batas-batas, namun ada yang tidak tahu batas dan mengalami "kecanduan", bahkan "kegilaan" (insanity), sehingga melakukan apa saja, termasuk yang jahat, untuk membuat data statistik menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi.
Diakui atau tidak, karena begitu sulitnya mengelola negara dan perekonomiannya, Indonesia tergoda untuk melakukan yang ke dua. Seperti pelajaran yang diberikan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, guru besar FE UI, bahwa hari ini ekonomi kapitalis sudah tidak dipakai lagi, demikian juga ekonomi sosialis, karena yang dipilih untuk dipakai pemerintah adalah ekonomi ambisi, ekonomi nafsu.
Mesin penghelanya adalah pembenaran dari sejumlah akademisi yng sedang didewakan bahwa addiction to growth is normal. Sudah demikian, lembaga wali data BPS kurang punya kekritisan akan kehadiran pertumbuhan yang diukurnya: pertumbuhan yang baik, atau justru pertumbuhan yang sebagian besar ditopang oleh kebijakan yang jahat.
Penyebab kedua, menerapkan fiksi hukum ke kebijakan publik secara serta-merta. Penambangan terbuka tidak diijinkan di kawasan Raja Ampat sesuai UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tapi, karena fiksi hukum lex specialis derogat legi generalis, bahwa hukum khusus meminggirkan hukum umum.
Di mana hukum spesialisnya ditetapkan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan yang generalis adalah UU No. 1/2014. Padahal, fiksi hukum sebenarnya hanya dapat diterapkan pada hukum pidana, perdata, dan khusus, dengan tujuan menegakkan ketertiban masyarakat, dan tidak bisa serta merta diterapkan pada hukum sebagai kebijakan publik perundangan.
Syarat pertama negara adalah ada warganya, ke dua adalah wilayah, ke tiga adalah pemerintahan, dan ke empat adalah pengakuan atas kedaulatan dan kemerdekaannya. Yang lain adalah instrumental.
Jadi, jika hendak disebut sebagai "hukum", maka hukum yang paling dasar adalah undang-undang yang mengatur warganegara, kemudian wilayah, pemerintahan, dan pengakuan. Hukum investasi adalah hukum instrumental, yang tidak dapat meminggirkan hukum wilayah.
Dan, jika pun dikatakan yang spesialis mengalahkan yang generalis, konsekuensinya harus diterima jika peraturan perundangan yang spesialis seperti regulasi-regulasi, boleh-boleh saja mengalahkan UU, bahkan kalah perlu boleh-boleh saja mengalahkan yang lebih generalis, yaitu UUD.
Jadi, fiksi hukum tidak dapat digunakan di kebijakan publik, apalagi secara serta merta. Apalagi, hukum tidak identik dengan kebijakan publik. Hukum lebih sempit dari kebijakan publik.
Kondisi ini akan makin berat dengan hadirnya UU No. 6/2023 yang menetapkan Perpu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Kebijakan ini menjadi juggernaut bagi setiap kebijakan yang ada di Indonesia, dan berpotensi seperti kejadian kecelakaan mengerikan Balikpapan 22 Januari 2022, ketika sebuah truk tronton dengan rem blong menabrak seluruh mobil dan motor di depannya, di jalan menurun tepat di lampu merah Soekarno Hatta.
Ketiga adalah kegagapan pembuat kebijakan untuk membangun skenario kebijakan pembangunan yang benar untuk Indonesia. Kebijakan publik lebih banyak dihela oleh "mau" dan megabaikan "ilmu". Jika pun ada, hanya ilmu yang dikehendaki oleh mau. Akademisi bertransformasi menjadi pegawai kantor pos di masa lalu dengan tugas menyetempel setiap surat yang akan dikirim kekuasaan.
Hilirisasi sudah benar, namun tidak dengan "brutal" seperti hari ini. Sumberdaya Indonesia seharusnya ditata dengan kebijakan berbasis valuasi ke masa depan, daripada eksploatasi telanjang di hari ini.
Pembuat kebijakan seolah tidak peduli dengan nasihat bijak pemenang nobel 2024 Daren Acemoglu yang menemukan bahwa negara dengan rejim ekstraktif memang berhasil membangun economic engine pertumbuhan, namun pada suatu ketika yang tidak begitu lama, mesin ini akan menghentikan pertumbuhan ekonomi, bahkan mesin ini akan bergerak mundur dan menggilas seluruh keberhasilan pertumbuhan yang sudah dicapai (Acemoglu & Robison, Why Nations Fail, 2013).
Pelajaran
Ini adalah pelajaran genting untuk pemerintah Indonesia. Pertama, kecanduan, apalagi kegilaan, pada pertumbuhan adalah kebijakan yang jahat. Ke dua, memaksakan fiksi hukum kepada realitas kebijakan publik juga jahat. Ke tiga, kegagapan pembuat kebijakan, kemudian membuat kebijakan yang sembrono dan sembarangan, juga kejahatan. Jadi, ini adalah hattrick kebijakan yang jahat.
Sepanjang Indonesia adalah negara demokrasi, maka premis kita bukanlah bahwa "kebijakan publik adalah kewenangan Negara", juga bukan bahwa "kebijakan publik adalah tugas Negara", juga bukan lagi "kebijakan publik adalah hadiah (Negara untuk) rakyat".
Premis yang sejak kini harus dibawa oleh Presiden Prabowo dan Pemerintahan yang dipimpinnya adalah bahwa "kebijakan publik yang baik adalah hak rakyat", dan bahwa "kebijakan publik adalah kehormatan negara".
Kegagalan membangun kebijakan yang unggul membawa konsekuensi hilangnya kehormatan Pemerintah. Kebijakan-kebijakan jahat, termasuk ijin penambangan, apalagi yang terbuka, di nirwana milik bangsa, tidak pernah boleh ada lagi, karena tidak saja menurunkan kehormatan, namun mencampakkannya.
Harus diakui ini bukan pekerjaan mudah, apalagi pada kondisi di mana upaya kolaborasi Negara-Rakyat menjadi semakin renta; di mana rasanya ajaran dari Shang Yang (390-338 SM) dari China yang mengatakan bahwa "Ketika rakyat lemah, negara kuat; ketika rakyat kuat, negara lemah. Oleh karena itu, negara yang menempuh Sang Jalan mengabdikan dirinya untuk melemahkan rakyat" (Seni Berkuasa, 2022 (300 SM)) semakin mengemuka. Kolaborasi-kolaborasi yang ada cenderung berada di ranah-ranah formal, teknis, dan muram dari substansi.
Aksi segera dan nyata dari Negara sedang ditunggu untuk menyelesaikan kebijakan yangjahat di Raja Ampat. Pertama, menghukum pejabat menteri yang pada saat itu memberikan ijin usaha.
Kedua, menghentikan seluruh penambangan tanpa kompensasi apa pun. Ketiga, mengkonservasi seluruh Raja Ampat.
Keempat, menghukum seluruh pimpinan perusahaan negara holding pertambangan, sejak komisaris hingga direksi, di holding, anak, dan cucu, sebagai peringatan keras bahwa BUMN adalah milik rakyat atau publik, dan tidak berhak melakukan kejahatan publik.
Kelima, menata kembali ekosistem kebijakan publik Indonesia, sebagaimana dikemukakan di depan, terutama menata kembali kebijakan investasi yang jagernaustik.
Oleh: Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia