Prabowo Revisi Metode Penghitungan Kemiskinan, Masuk RAPBN 2026
kumparanBISNIS June 12, 2025 06:00 PM
Pemerintahan Prabowo mulai membahas ulang metode penghitungan kemiskinan nasional yang telah digunakan sejak 1998. Revisi ini dianggap penting seiring perubahan standar garis kemiskinan global oleh Bank Dunia dan status Indonesia yang telah menjadi negara berpendapatan menengah atas.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan target penghapusan kemiskinan ekstrem tetap menjadi prioritas pemerintah.
“Tingkat kemiskinan ekstrem (di 2026) harusnya sudah nol,” kata Suahasil dalam Acara Kadin Global & Economic Outlook Kuartal I 2025 di Menara Kadin, Kamis (12/6).
Pembahasan ini, menurut Suahasil, dilakukan bersama dengan DPR dan akan menjadi masukan penting untuk penyusunan RAPBN 2026. Ia menjelaskan, revisi mencakup berbagai indikator kesejahteraan, dan proses penyusunan sedang berlangsung.
“Kemiskinan ekstrem, tingkat kemiskinan maupun indeks modal manusia. Seluruh indikator ini saat ini kita sedang diskusikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan di bulan Juli nanti akan menjadi masukan bagi pemerintah ketika pemerintah membuat RAPBN 2026 yang akan disampaikan pada bulan Agustus,” ungkapnya.
Ketika ditanya soal kenaikan garis kemiskinan oleh Bank Dunia, Suahasil menjelaskan, garis kemiskinan memiliki perhitungan tertentu.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Wakil Ketua Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani di Menara Kadin, Kamis (12/6/2025). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Wakil Ketua Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani di Menara Kadin, Kamis (12/6/2025). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
“Kalau garis kemiskinan itu kan selalu ada metodologinya. Metodologi mana yang dipilih adalah yang bisa mencerminkan kondisi ekonomi dan kondisi masyarakat setempat, nah itu kan tiap negara pasti ada selalu ada dinamikanya, jadi ya dibicarakan aja. Teman-teman BPS kayaknya sedang membicarakan,” katanya.
Bank Dunia sebelumnya menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari USD 2,15 menjadi USD 3 per hari, menggunakan basis PPP 2021. Untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, ambangnya naik menjadi USD 8,30 PPP per kapita per hari. Dengan asumsi nilai tukar PPP sekitar Rp 5.993 per USD 1 PPP, ini berarti batas kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia naik menjadi sekitar Rp 1,5 juta per bulan.
Angka ini jauh di atas garis kemiskinan nasional saat ini yang masih mengacu pada pengeluaran sekitar Rp 500 ribu per bulan. Perbedaan inilah yang membuat jumlah orang miskin versi Bank Dunia melonjak tajam menjadi 68 persen penduduk Indonesia, atau 194 juta orang.
Namun, pemerintah tidak otomatis mengikuti standar global itu. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi, Aviliani, menyebut penyesuaian seperti itu harus dilakukan dengan hati-hati karena berdampak luas.
“Jadi kita kan masih menggunakan Rp 500 ribuan untuk tiap bulan. Sedangkan Bank Dunia kan melihat nilai tukar terhadap rupiah kita semakin melemah. Sehingga kalau dihitung dengan nilai tukar kita sekarang, memang seolah-olah harus mengalami kenaikan,” katanya.
Ia menilai pemerintah tidak bisa serta-merta mengubah definisi kemiskinan. “Kalau dia langsung mengganti definisi itu, berarti kan kemiskinannya akan tinggi sekali. Jadi pemerintah juga gak akan begitu saja mengikuti apa yang disampaikan oleh Bank Dunia, tapi kita tetap melihat bagaimana inflasi di suatu negara kita, lalu kelayakan orang dengan hidup minimal itu berapa,” jelas Aviliani.
Meski begitu, ia mengakui, evaluasi tetap perlu dilakukan. Menurutnya, definisi baru kemiskinan akan berdampak pada banyak aspek lain, termasuk upah minimum dan biaya operasional usaha.
Warga melakukan aktivitas di tengah pemukiman padat penduduk di kawasan Muara Angke, Jakarta, Kamis (12/6/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga melakukan aktivitas di tengah pemukiman padat penduduk di kawasan Muara Angke, Jakarta, Kamis (12/6/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Saya melihatnya sih mungkin ke depan pemerintah, policy-nya adalah tidak hanya masalah kemiskinan, karena ini akan dampak juga pada upah kan, upah minimal. Itu akan berdampak juga pada pengusaha,” ujarnya.
Ia menyebut perubahan definisi kemiskinan tidak cukup jika tidak dibarengi peningkatan produktivitas. “Ya, kadin sih melihatnya gini, kan selama produktivitas atau tenaga kerja kita belum membaik, ya tidak mungkin kita akan bicara tentang kenaikan pendapatan terus itu pertama. Yang kedua kan sektor informal kita kan masih tinggi, masih 60 persen kan,” katanya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.