Regulasi Pemilu di Masa Pandemi
Eko Sutriyanto June 13, 2025 11:32 PM

Oleh: Benny Sabdo,  Anggota Bawaslu DKI Jakarta; Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

“Tak ada negara mana pun di dunia ini yang kebal atas serangan wabah Covid-19. Pembentuk undang-undang mesti memitigasi situasi pandemi dalam pengaturan UU Pemilu ”

TRIBUNNERS - Kementerian Kesehatan mencatat lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia pada minggu ke-16 tahun 2025, dengan jumlah tertinggi mencapai lebih dari 7.000 kasus dalam satu minggu.

Selanjutnya, peningkatan signifikan terjadi pada minggu ke-17 hingga ke-19, terutama di wilayah Banten, Jakarta dan Jawa Timur. Melihat tren tersebut, Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat untuk tidak lengah (KOMPAS.com, 4 Juni 2025).

Bayang-bayang pandemi masih mengintai kita. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, serta berbagai bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan badai yang semakin sering terjadi, telah meninggalkan dampak yang mendalam bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik.  

Dalam konteks kehidupan politik, kita memiliki hajatan setiap lima tahun sekali, yakni pemilu. Pemilu wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara rutin. Melalui pemilu rakyat memilih pemimpin di tingkat eksekutif dan legislatif.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah memuat pengaturan penyelenggaraan pemilu secara lebih baik, jika dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Namun demikian, UU Pemilu belum mengatur tentang pemilu di masa pandemi.

Dengan adanya lonjakan kasus Covid-19, Pemerintah dan DPR perlu melakukan mitigasi secara konkrit melalui regulasi. DPR sedang membahas RUU Pemilu, maka perlu memasukkan pasal khusus terkait tahapan pemilu di masa pandemi. 

Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya sirna dari muka bumi. Pembuat undang-undang sudah semestinya memasukkan ketentuan khusus terkait pemilu di masa pandemi. Ada buku baru bertajuk “Mitigasi Pandemi dan Bencana Alam Masa Depan” karya Dr Sudiyatmiko Aribowo, SH, MH, dapat menjadi salah satu referensi dalam pengaturan pemilu di masa pandemi.

Sudiyatmiko yang akrab disapa Miko ini telah menemukan model politik kebijakan dalam mitigasi pandemi di masa depan, yaitu model politik kebijakan keseimbangan; Mitigasi, Inklusif, Kolaboratif, Organisasi (MIKO). Model politik kebijakan keseimbangan MIKO ini berdasarkan hasil analisis serta duplikasi konsep keberhasilan kebijakan penanganan Pandemi Covid-19 di berbagai negara.

Hukum, perundang-undangan atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi dan prediksi tertentu. Desain Bawaslu sebagai quasi peradilan, misalnya didasarkan pada perkiraan rata-rata jumlah perkara yang masuk.

Berangkat dari situ ditentukan jumlah anggota Bawaslu, staf teknis, tenaga pendukung, ruangan sidang serta fasilitas fisik lainnya.

Akan tetapi, realitas kerap kali tidak selalu sesuai dengan perkiraan, sehingga dapat muncul keadaan luar biasa yang tidak diduga sama sekali.

Situasi seperti itu pernah terjadi pasca pemilu 2019 kemarin, tiba-tiba dunia dilanda Pandemi Covid-19.

Kita bersyukur pada pemilu 2024 lalu tidak terjadi Pandemi Covid-19. Namun demikian, hukum kita mesti mengatur tahapan pemilu di masa pandemi. Desain pemilu kita ke depan mesti mengatur ketentuan-ketentuan khusus terkait pandemi.

Sewaktu-sewaktu penyelenggara pemilu memang dihadapkan pada situasi yang luar biasa. Apa pun yang terjadi dan dihadapi, penyelenggara pemilu tidak dapat berhenti dan menolak untuk bekerja, semata-mata berdasarkan alasan, bahwa ia tidak dipersiapkan untuk itu.

Dalam situasi seperti pandemi misalnya, mau tidak mau kita akan memasuki ranah cara menyelenggarakan pemilu secara luar biasa. Apabila cara-cara biasa atau normal disebut sebagai rule-making, maka cara-cara luar biasa ini disebut sebagai rule-breaking atau mematahkan dan menerobos hukum yang ada. Hukum yang baik, hukum yang kontekstual sekaligus menjawab persoalan zamannya.    

Begawan hukum progresif Satjipto Rahardjo melukiskan perjalanan hukum itu tidak selalu presisi dengan realitas kehidupan masyarakat.

Kita melihat dan mengalami, betapa perjalanan hukum itu tidak selalu lurus-lurus saja, akan tetapi berkelok-kelok dan di sana-sini berupa patahan-patahan. Oleh patahan tersebut, perjalanan hukum menjadi terputus, untuk kemudian dilanjutkan lagi.

Ilmu kita sekarang sudah semakin menjadi dewasa, dalam arti, bukan lagi berpikir secara hitam-putih, melainkan mengakui kompleksitas, ketidakpastian dan relativitas. Ketertiban (order) tidak lagi bertolak belakang dengan kekacauan (chaos), tetapi keduanya berkelindan. 

Pembentuk undang-undang mesti responsif dalam menghadapi perubahan situasi, seperti Pandemi Covid-19. Perubahan situasi di luar secara generik akan berpengaruh kepada hukum.

Sebab hukum tidak tinggal di ruang hampa, hukum berada di tengah arus zaman. Hukum tidak dapat dilepaskan oleh situasi perubahan sosial, politik, bahkan pandemi.

Pembentuk undang-undang tidak boleh terjebak ke dalam kepentingan jangka pendek seperti, pengaturan sistem pemilu, daerah pemilu serta penghitungan jumlah kursi. Sehingga tidak mampu merespon secara baik tentang problematika penyelenggaran pemilu baru, yaitu situasi pandemi, politik uang, kampanye di media sosial dan penguatan demokrasi yang jurdil.             

The last but not least, pembentuk undang-undang harus mengalami perubahan paradigmatik terkait diskursus pembentukan RUU Pemilu.

Sejarah hukum juga mengenal siklus periodisasi, mulai dari hukum normal, kemudian memasuki periode abnormal, untuk selanjutnya menjadi normal kembali dan begitu seterusnya siklus sejarah hukum berulang.

Model politik kebijakan keseimbangan MIKO dapat diadopsi oleh pembentuk undang-undang sebagai mitigasi dalam pengaturan pemilu di masa pandemi.

Model politik kebijakan keseimbangan MIKO relevan dan kontekstual dengan pilihan kebijakan negara Indonesia yang tidak memberlakukan kebijakan lockdown. Semoga RUU Pemilu saat ini semakin menjawab tantangan zaman sekaligus problematika hukum pemilu di masa depan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.