Perang karena Ego, Korbannya Selalu yang Tak Berdosa
ODJIE SAMROJI June 15, 2025 01:40 PM
Dalam sejarah panjang umat manusia, perang selalu berulang. Alasannya bisa bermacam-macam: klaim wilayah, harga diri bangsa, balas dendam, bahkan “misi suci” yang dilapisi kepentingan duniawi. Namun satu pola tak pernah berubah: yang memulai adalah mereka yang berkuasa dan yang menjadi korban adalah mereka yang tak bersalah.
Hari ini, dunia kembali menyaksikan bara yang menyala di Timur Tengah. Iran, Israel, Palestina, dan Amerika — semua terlibat dalam pusaran konflik yang seolah tak menemukan ujung. Bom dijatuhkan, rudal diluncurkan, drone diterbangkan, dan nyawa-nyawa manusia berjatuhan. Sayangnya, yang terbunuh bukan hanya para kombatan, tetapi anak-anak yang sedang tidur, ibu yang sedang menimang bayinya, dan warga sipil yang tak pernah meminta dilahirkan di tengah medan perang.
Pertanyaannya sederhana: untuk siapa semua ini?
Apakah benar demi kemerdekaan, atau hanya balas dendam? Apakah sungguh demi membela tanah suci, atau sekadar mempertahankan ego politik dan kekuasaan? Dunia sudah terlalu sering dibakar oleh ego para penguasa yang duduk di kursi empuk, sementara mereka yang merangkak di bawah reruntuhan adalah manusia-manusia kecil yang tidak pernah diajak bicara ketika peluru-peluru itu diputuskan untuk ditembakkan.
Tidak ada yang menang dalam perang yang lahir dari dendam. Bahkan yang disebut "pemenang" pun kehilangan kemanusiaannya. Di satu sisi, Israel terus menebar kehancuran, menggunakan mesin perang yang ditopang oleh sekutu globalnya. Di sisi lain, rakyat Palestina merintih dalam blokade, kehilangan harapan, kehilangan tempat tinggal, kehilangan anak-anak mereka yang belum sempat tumbuh dewasa. Iran masuk dengan panji perlawanan, Amerika tampil dengan jargon perdamaian tapi mengirim senjata. Semua bicara atas nama kebenaran, tapi tak satu pun menoleh pada duka warga sipil.
Apakah perdamaian begitu mustahil? Ataukah kita memang sudah terbiasa hidup dalam siklus kebencian?
Agama-agama besar dunia tidak pernah mengajarkan untuk membunuh yang tak bersalah. Islam, Kristen, Yahudi, semua mengusung pesan yang sama: cinta kasih, keadilan, dan menghormati kehidupan. Tapi mengapa, justru atas nama agama, para pemimpin menciptakan narasi yang melegitimasi kekerasan? Apakah Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang sama dengan yang diyakini oleh para korban yang menangis di tengah malam karena kehilangan keluarganya?
Kini saatnya dunia berbicara bukan hanya tentang strategi diplomatik, tetapi tentang nurani. Sudah cukup darah yang tertumpah. Sudah cukup penderitaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dunia tidak kekurangan senjata, tapi kekurangan empati. Kita tidak kekurangan teknologi militer, tapi kehilangan kepemimpinan yang berani berkata: “Hentikan.”
Kepada Israel yang terus menggempur Gaza, kepada Iran yang membalas dengan senyap dan terbuka, kepada Amerika yang terus bermain di balik layar dengan kebijakan dua muka — dan kepada semua pihak yang terlibat: hentikan perang ini. Hentikan sebelum bumi yang kalian pertahankan berubah menjadi neraka bagi mereka yang hanya ingin hidup damai.
Setiap anak yang tewas hari ini bukan bagian dari strategi militer. Ia adalah saksi bisu dari kegagalan kita sebagai manusia.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.