Garis Kemiskinan Kita Terlalu 'Murah'? Pelan-pelan Saja, Tapi Jangan Tutup Mata
Andri Yudhi Supriadi June 15, 2025 06:20 PM
Berapa uang yang dibutuhkan seseorang agar bisa di Indonesia hari ini?
Jawabannya tidak sederhana. Karena hidup di Jakarta jelas beda dengan hidup di Sumba, atau tak bisa disamakan dengan di Solo. Tapi satu hal yang pasti: garis kemiskinan nasional kita masih terasa terlalu rendah, dan sudah waktunya kita bicara lebih jujur.
Per September 2024, yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sekitar Rp595.242 per kapita per bulan, atau kira-kira Rp19.841 per hari. Dengan angka ini, jika pengeluaran seseorang sedikit saja di atas itu, ia tak lagi dianggap miskin secara resmi.
Tapi kita semua tahu: bahkan satu kali makan di warteg pun sekarang sudah bisa menyentuh Rp15.000. Belum termasuk biaya listrik, sekolah, atau kuota internet.
BPS Sudah Memperhitungkan Perbedaan Daerah
Untuk adilnya, perlu kita akui: BPS tidak menggunakan satu angka nasional saja. untuk tiap provinsi, bahkan sampai tingkat kabupaten/kota, dan juga dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Artinya, garis kemiskinan di Kota Jakarta jelas berbeda dengan Kabupaten Puncak di Papua, atau dengan Desa di Pulau Alor. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa pola konsumsi dan biaya hidup memang sangat beragam di Indonesia.
Namun tetap saja, metodologi dasarnya sama: ukuran pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan energi makanan (2.100 kkal) plus kebutuhan dasar non-makanan. Dan batas minimum ini, meskipun dibedakan antarwilayah, masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan realitas harga saat ini.
Kenapa Revisi Garis Kemiskinan Tetap Perlu?
  • Karena pola konsumsi masyarakat makin kompleks. Kini orang tidak hanya butuh makan dan pakaian, tapi juga akses internet, transportasi, layanan kesehatan, bahkan keamanan digital. Semua itu belum sepenuhnya tercermin dalam perhitungan saat ini.
  • Banyak orang yang miskin namun 'di atas kertas tidak miskin'. Pengeluaran mereka hanya sedikit di atas garis kemiskinan wilayahnya, tapi hidupnya tetap serba kekurangan. Ini disebut sebagai “near poor”, kelompok rentan miskin yang sangat terdampak jika ada kenaikan harga atau musibah.
  • Agar bantuan sosial bisa lebih tepat sasaran. Revisi ukuran kemiskinan dapat membantu pemerintah memperluas cakupan penerima bansos yang benar-benar membutuhkan, terutama di tengah tekanan ekonomi seperti inflasi dan PHK.
Risiko dan Tantangannya
  • Angka kemiskinan akan terlihat melonjak. Bukan karena jumlah orang miskin bertambah, tapi karena cara kita mengukurnya lebih realistis.
  • Beban fiskal bertambah. Jika data penerima bansos bertambah, maka anggaran negara juga harus ditambah. Pemerintah perlu menyiapkan skema pembiayaan yang berkelanjutan.
  • Perlu kehati-hatian dalam membaca dan menyampaikan data. Kita tak bisa buru-buru menyimpulkan pemerintah gagal hanya karena angkanya naik. Bisa jadi, itu justru tanda negara mulai melihat rakyatnya lebih jujur.
Bertahap, Tapi Tidak Diam
Kita perlu revisi bertahap, berbasis bukti, dan sensitif terhadap keragaman lokal.
Artinya, garis kemiskinan harus tetap dibedakan antar wilayah seperti sekarang, tapi dengan metodologi yang lebih sesuai dengan realitas zaman. Bisa juga mulai dipertimbangkan pendekatan kemiskinan multidimensi, seperti yang digunakan UNDP: menghitung akses ke air bersih, sanitasi, pendidikan, hingga teknologi.
Jangan Tutup Mata, Jangan Juga Terburu-buru
Garis kemiskinan bukan sekadar angka. Ia adalah cermin bagaimana negara melihat dan merespons penderitaan warganya.
Kalau masih ada warga yang harus pilih antara makan dan bayar sekolah anak, lalu dianggap "tidak miskin", maka yang keliru bukan orangnya—tapi ukuran yang kita pakai.
Yuk, kita mulai dari pertanyaan jujur: apakah ukuran kemiskinan kita masih masuk akal?
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.