TRIBUNNEWS.COM - Sebuah sekolah swasta elite di Kota Bekasi, Jawa Barat, dilaporkan ke pihak berwajib oleh sejumlah orangtua murid yang merasa ditipu.
Mereka kecewa karena janji penerapan Kurikulum Cambridge yang dijanjikan saat pendaftaran tak kunjung terealisasi, padahal mereka telah membayar biaya masuk hingga puluhan juta rupiah.
Puluhan wali murid mengaku kecewa karena banyak program sekolah yang dijanjikan tidak berjalan.
Setelah sempat melayangkan somasi tanpa hasil, mereka akhirnya melapor ke Mapolres Metro Bekasi Kota.
Satu di antara orangtua murid, Silvia Legina (30) mengatakan dugaan penipuan menguat usai para orangtua murid dijadwalkan berkumpul untuk mencari solusi dengan bertemu pihak sekolah pada Sabtu (14/6/2025).
Hanya saja, setelah menunggu enam jam, pihak orangtua justru tidak kunjung mendapat kepastian dan kejelasan.
"Jadwalnya itu pertemuan orangtua murid atas keputusan rapat pihak sekolah dan yayasan dan lawyer, tapi dari 14.30 WIB sampai semalam tidak ada titik temu," kata Silvia, Minggu (15/6/2025).
Silvia juga menyampaikan berbagai keluhan dari orangtua murid lainnya terhadap sistem di sekolah yang baru beroperasi 10 tahun itu.
Salah satunya adalah janji penggunaan Kurikulum Cambridge, yang ternyata hanya sebatas klaim tanpa penerapan nyata.
Menurut Silvia, materi pembelajaran tidak sesuai standar kurikulum Cambridge seperti yang dijanjikan saat awal pendaftaran.
"Kami dijanjikan dari pihak sekolah kurikulum Cambridge, tapi ternyata bukan berbasis Cambridge. Alasannya kalau ini hanya berbasis Cambridge bukan kurikulum Cambridge, jadi Cambridge itu tidak kami dapatkan atau tidak sesuai dengan materinya," ujarnya.
Sekolah yang terletak di Jalan Baru Perjuangan, Bekasi Utara, itu bahkan diduga tidak memiliki izin resmi dari Dinas Pendidikan Kota Bekasi untuk menyelenggarakan pendidikan tingkat Playgroup, SD, dan inklusi.
Silvia menyebutkan, petugas dari Disdik Bekasi sempat tiga kali datang namun ditolak pihak sekolah, sehingga sekolah tersebut belum mengantongi akreditasi yang menjadi syarat untuk menerapkan kurikulum internasional.
"Disdik itu sudah pernah datang ke sini (Sekolah) udah tiga kali tapi diusir oleh pihak sekolah, tapi saya kurang tahu kenapa. Makanya sekolah ini itu tidak pernah dapat akreditasi, dan untuk menerbitkan izin Cambridge itu harus terakreditasi terlebih dahulu," terangnya.
Masalah lain yang dikeluhkan adalah biaya tambahan yang dinilai tidak wajar.
Salah satunya, jika orangtua ingin mengganti jadwal pengambilan rapor, mereka dikenakan biaya Rp250 ribu dengan alasan untuk layanan konseling.
"Terus kami juga kalau mau ngambil raport dan kalau kami mau ganti jadwal harus bayar juga harganya Rp250 ribu hitungannya biaya konseling," ujarnya.
Silvia menyebutkan bahwa biaya masuk sekolah mencapai Rp23 juta, belum termasuk iuran bulanan sekitar Rp2 juta.
Ia merasa kecewa karena dana sebesar itu tidak sebanding dengan layanan dan program yang dijanjikan.
"Pendaftaran sekira Rp 23 juta tapi di luar uang bulanan, jadi Rp 23 juta itu termasuk activity fee sama uang bulanan sekolah selama tiga bulan, tapi bulanan ke empat kami bayar lagi kurang lebih Rp 2 juta per bulan, makanya dengan biaya yang menurut saya mahal itu kami kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan," lanjutnya.
Kekecewaan serupa diungkapkan oleh Benny Sugeng Waluyo (42), orangtua dari anak berkebutuhan khusus (ABK) yang semula tertarik menyekolahkan anaknya di sana karena adanya program inklusi dan dukungan psikolog.
Namun, ia mengaku tidak melihat realisasi dari layanan tersebut selama anaknya belajar di sana.
"Tapi selama anak kami sekolah di sini realisasi itu tidak ada," kata Sugeng, Minggu (15/6/2025).
Benny pun merasa upayanya untuk memberikan pendidikan terbaik menjadi sia-sia dan memutuskan untuk ikut melaporkan pihak sekolah ke polisi.
"Kecewa sangat, masalahnya anak berkebutuhan khusus ini kan berbeda, kami sebagai orangtua kan harus ekstra tapi ternyata ekstra yang kami berikan itu tidak sesuai dengan kenyataan dan itu membuat kami kecewa, sekarang kami melaporkan pihak sekolah ke polisi," tutupnya.
(Tribunnews/Isti Prasetya, TribunBekasi.com/Rendy Rutama)